BUDAYA
SASTRA DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA
Tugas Makalah Bahasa
Indonesia
Dosen Pengampu :
Dr. Mohammad Siddiq
Oleh :
JAHIDIN
Mahasiswa Fakultas Agama
Islam
Jurusan Syari’ah (Hukum
Islam)
UNIVERSITAS IBNU CHALDUN – JAKARTA
2012
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
……………………………………… 2
B. Perumusan Masalah
…………………………………………... 3
C. Metodelogi Penelitian
………………………………………… 3
D. Sistematika Pembahasan
……………………………………… 3
BAB II ANALISA TEORITIS TENTANG BUDAYA SASTRA
DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA
A. Definisi dan Ruang Lingkup
Budaya dan Sastra …………….. 4
B. Definisi dan Ruang Lingkup
Politik ………………………….. 5
BAB III ANALISA NORMATIF TENTANG BUDAYA SASTRA
DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA
A. Kondisi Sistem Perpolitikan
Indonesia ……………………….. 7
B. Pengaruh Budaya Sastra
dalam Perpolitikan Indonesia ……… 10
C. Politikus Sukses yang
Berjiwa Sastra ………………………… 11
D. Tantangan dan Hambatan
Budaya Sastra dalam Perpolitikan
Indonesia ……………………………………….. 14
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
……………………………………………………..16
B. Saran-saran
……………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat membangun,
bahasa etika membuat tingkah laku yang dapat menjamin setiap individu dan
masyarakat sehingga tidak terjerumus ke dalam kekeliruan dan penyimpangan, dan
dalam saat yang sama memperlancar laju roda pembangunan. Bahasa ini mampu pula
meluruskan kekeliruan anggota keluarga sendiri, sebelum diluruskan orang lain
karena kita merasakan perasaannya. Ia juga yang mampu mengantisipasi setiap
perubahan sehingga tidak menjadi hambatan bagi tercapainya kesejahtraan dan
ketentraman. Begitu pentingnya bahasa etika di kehidupan Manusia ini. Berbahasa
bukanlah kegiatan manusia yang berdiri sendiri sebab dalam kegiatan itu
tersangkut pula kegiatan lainnya. Penggunaan bahasa dalam sastra menunjukan
salah satu fungsi bahasa itu, yaitu membangkitkan reaksi tertentu orang yang
mendengar.
Melihat dalam kenyataan
yang ada, terutama dalam dunia perpolitikan di Negara Indonesia kita ini, kita
sangat kekurangan akan pemimpin-pemimpin yang menjunjung tinggi nilai bahasa
etika, terlebih lagi mereka merupakan sosok yang mewakili kita di pemerintahan
yang harusnya menggambarkan nilai-nilai etika dan estetika yang baik bagi
masyarakatnya. Menjadi contoh figur serta teladan bagi mereka yang diwakilinya.
Ketika masyarakat bingung mencurahkan aspirasi dan suaranya di
pemerintahan, maka timbulah pertanyaan : Siapakah yang berhak menjadi wakil
kita di pemerintahan ? demikian juga ketika wakil yang kita pilih tidak
menggambarkan dan tidak menjadi figur teladan bagi masyarakat, maka
pertanyaanpun muncul : Siapakah yang harus bertanggung jawab akan hal tersebut
? maka oleh karena begitu pentingnya akan permasalahan tersebut diatas, penulis
bermaksud untuk menyikapinya kedalam sebuah karya tulis ilmiah dengan diberi
judul “BUDAYA SASTRA DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA” yang di harapkan dengan adanya karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi masyarakat dan Bangsa Indonesia khususnya. Serta menjadi
kontribusi bagi kemajuan khazanah ilmu pengetahuan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penyusun dapat
merumuskan masalahnya sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan budaya sastra ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan politik ?
3.
Bagaimana pengaruh budaya sastra dalam perpolitikan
Indonesia ?
4.
Apa tantangan dan hambatan budaya sastra dalam perpolitikan
Indonesia ?
C.
Metodelogi
Penelitian
Paper adalah suatu karya
tulis yang didukung oleh beberapa referensi dan data-data yang kuat serta dapat
dipercaya. Maka dari itu penulis mengadakan penelitian dengan metode normatif.
Dikatakan Normatif karena dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan penulis
mengguinakan norma-norma berfikir (logika).
D.
Sistematika
Pembahasan
Agar pembahasan tidak
melebar dan supaya tersusun, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut
:
BAB I Terdiri
dari pendahuluan, yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah,
metodelogi penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II Landasan
teoritis tentang budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, yang meliputi :
pengertian budaya dan sastra, ruang lingkup budaya dan sastra, pengertian
politik, ruang lingkup politik, dan sejarah perpolitikan Indonesia.
BAB III Merupakan
analisia normatif tentang budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, yang
meliputi : Kondisi Sistem perpolitikan Indonesia dari masa ke masa, pengaruh
budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, beberapa biografi politisi yang
memiliki jiwa sastra, serta tantangan
dan hambatan budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia.
BAB IV Penutup
yang berisikan ; kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
ANALISA TEORITIS TENTANG BUDAYA SASTRA DALAM
PERPOLITIKAN INDONESIA
A.
Definisi
dan Ruang Lingkup Budaya dan Sastra
1.
Definisi Budaya dan Sastra
Budaya secara sempit dapat
dipahami sebagai seni, dan dapat pula dipahami secara luas sehingga mencakup
segala aktivitas dan budi daya manusia serta seluruh pengetahuandan
pengalamannya yang menjadi pedoman tingkah laku manusia”.[1] “Budaya dalam bahasa inggris adalah kulture, sama artinya
bangsa yang berbudaya adalah kultur
volk”[2]. Budaya (culture) dan peradaban (civilization) adalah
semakna. Kedua kata itu mengandung arti yang sama. Perbedaannya hanya pada
istilahnya saja. ada pula yang berpendapat seperti A.J. Wensink, bahwa
kebudayaan dan peradaban bukan saja dari istilahnya yang berbeda tetapi artinya
juga tidak sama. A.J. Wensink dalam bukunya Genese et evolution de la culture
musulmane mengatakan bahwa kebudayaan adalah perpaduan dari cipta, karsa dan
rasa. Ia berangkat dari akal batin manusia. Akal batin inilah yang mendorong
lahirnya pikiran-pikiran manusia untuk menciptakan kesenian, kesusastraan dan
lain-lain yang memenuhi hasrat manusia akan keindahan dan kebahagiaan hidup[3].
Sastra dalam bahasa arab
adalah ادب
(adab) yang brerarti tatakrama atau sopan santun, dalam kalimat lain kita
mengenal adabul arabiyyah maksudnya adalah ilmu sastra arab. Sastra dapat
diartikan dengan tata bahasa, ilmu sastra yakni ilmu mengenai ketata bahasaan.
Tata bahasa mempelajari hubungan berbagai-bagai jenis kata yang menjadi inti
dalam bahasa dan berusaha menemukan hubungan-hubungannya dengan pikiran yang
dinyatakannya. Tata bahasa membicarakan soal-soal seperti misalnya
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi bahasa yang kita pergunakan itu agar ia
betul.[4]
Kata sastra dipergunakan
dalam berbagai pengertian, seperti kultur, buku, tulisan, dan seni sastra.
Sastra sebagai seni sastra, adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan
dalam medium bahasa. Dalam pengembangan bahasa tentulah peranan bahasa tidaklah
kecil, baik yang berkenaan dengan pengembangan struktur bahasa maupun yang
berkenaan dengan ekologinya. Penggunaan bahasa sebagai medium sastra sebagian
besar tergantung pada perpaduan antara aspek sosial dan perseorangan dalam
tuturan pengarang(pelaku), dengan tujuan membangkitkan reaksi tertentu pada
pendengar atau pembaca, yaitu dengan memilih bentuk-bentuk(kata-kata) yang
mempunyai denotasi, konotasi, daya sintetis dan magis, bahasa emotif yang
berbeda dengan bahasa ilmiah[5].
2.
Ruang Lingkup Budaya dan Sastra
Dalam masyarakat membangun,
bahasa etika membuat tingkah laku yang dapat menjamin setiap individu dan
masyarakat sehingga tidak terjerumus ke dalam kekeliruan dan penyimpangan, dan dalam
saat yang sama memperlancar laju roda pembangunan. Bahasa ini mampu pula
meluruskan kekeliruan anggota keluarga sendiri, sebelum diluruskan orang lain
karena kita merasakan perasaannya. Ia juga yang mampu mengantisipasi setiap
perubahan sehingga tidak menjadi hambatan bagi tercapainya kesejahtraan dan
ketentraman. Dasar dari segala etika adalah mengorbankan kepentingan
diri demi kepentingan orang lain. Namun harus diingat bahwa bahasa etika
sebagaimana setiap bahasa walaupun dapat mengalami perkembangan, ia mempunyai
kaidah-kaidah yang ketat. Bahasa etika tidak setuju apabila hanya dituntut dari
si lemah ketika memperjuangkan haknya, tetapi tidak digubris oleh si kuat dalam
melaksanakan kewajibannya. Kalau begini keadaannya, bahasa ini tidak digunakan dengan
baik dan benar.[6]
Pembicaraan dalam bahasa
Al-Quran dinamai kalam. Dari akar kata yang sama dibentuk pula kata yang
berarti luka agar menjadi peringatan bahwa kalam juga dapat melukai. Bahkan
luka yang diakibatkan oleh lidah bias lebih parah daripada yang diakibatkan
oleh pisau.[7]
Ini semua seharusnya
mengantarkan seseorang untuk selalu berhati-hati, memikirkan, dan merenangkan
apa yang akan diucapkannya : anda menawan apa yang akan anda ucapkan, tetapi
begitu terucapkan maka andalah yang menjadi tawanannya. Dari rumusan-rumusan
yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ruang lingkup bahasan budaya dan
sastra sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan manusia.
B.
Definisi
dan Ruang Lingkup Politik
1.
Definisi Politik
Menurut kamus ilmiah
popular karya Indrawan WS, Politik adalah segala yang berkenaan dengan
cara-cara dan kebijaksanaan dalam mengatur Negara dan masyarakat bangsa. Adapun
politis yaitu segala hal yang bercorak(bersifat) politik. Kemudian orang yang
bergerak dalam bidang politik dinamakan politikus.[8]
“Dunia itu suatu kebun,
pagarnya Negara. Negara itu suatu kekuasaan, yang hidup dengan kekuasaan itu
aturan yang tetap(sunnah). Aturan yang tetap itu, ialah politik(siasah), yang
dijalankan oleh raja. Raja itu peraturan, yang disokong oleh tentara. Tentara
itu pembantu-pembantu, yang ditanggung oleh harta. Harta itu rezeki, yang
dikumpulkan oleh rakyat. Rakyat itu budak-budak, yang dipelihara oleh keadilan.
Keadilan itu yang disukai. Dengan keadilan tegaklah dunia. Dunia itu suatu
kebun”[9]
2.
Sejarah Perpolitikan Indonesia
Bangsa Indonesia, seperti halnya bangsa lain,
tidak melahirkan banyak negarawan sekalipun memproduksi banyak politikus.
Menurut sebuah kasus, negarawan adalah seorang yang memanfaatkan kepemimpinan
politiknya secara arif dan bijak tanpa dibarengi kesetiaan sempit.
Sebuah teori kepemimpinan mengatakan negarawan
adalah seorang yang memiliki wawasan dan moral yang jernih, konsistensi,
persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses
politiknya dilihat dari masa-masa berikut ini: Masa prakolonial, Masa Kolonial
(penjajahan), Masa Demokrasi Liberal, Masa Demokrasi terpimpin, Masa Demokrasi
Pancasila dan Masa Reformasi.[10]
BAB III
ANALISA NORMATIF TENTANG BUDAYA SASTRA DALAM PERPOLITIKAN
INDONESIA
A.
Kondisi
Sistem Perpolitikan Indonesia
1.
Kondisi Sistem Perpolitikan Indonesia dari Masa ke Masa
Kondisi Sistem Politik Indonesia
bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam
menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi
diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di
dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar
menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena
sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.[11]
Dalam melakukan analisis sistem tidak
bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian,
tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan
proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus
dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem,
pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan.
Bila
diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1.
Masa prakolonial (Kerajaan)
a.
Penyaluran tuntutan rendah dan
terpenuhi
b.
Pemeliharaan nilai disesuikan
dengan penguasa atau pemenang peperangan
c.
Kapabilitas SDA melimpah
d.
Integrasi vertikal atas bawah
e.
Integrasi horizontal nampak hanya sesama
penguasa kerajaan
f.
Gaya politik - kerajaan
g.
Kepemimpinan raja, pangeran dan
keluarga kerajaan
h.
Partisipasi massa sangat rendah
i.
Keterlibatan militer sangat kuat
karena berkaitan dengan perang
j.
Aparat negara loyal kepada kerajaan
dan raja yang memerintah
k.
Stabilitas stabil dimasa aman dan
instabil dimasa perang
2.
Masa kolonial (penjajahan)
a.
Penyaluran tuntutan rendah dan
tidak terpenuhi
b.
Pemeliharaan nilai sering terjadi
pelanggaran ham
c.
Kapabilitas melimpah tapi dikeruk
bagi kepentingan penjajah
d.
Integrasi vertikal atas bawah tidak
harmonis
e.
Integrasi horizontal harmonis
dengan sesama penjajah atau elit pribumi
f.
Gaya politik penjajahan, politik
belah bambu (memecah belah)
g.
Kepemimpinan dari penjajah dan elit
pribumi yang diperalat
h.
Partisipasi massa sangat rendah
bahkan tidak ada
i.
Keterlibatan militer sangat besar
j.
Aparat negara loyal kepada penjajah
k.
Stabilitas stabil tapi dalam
kondisi mudah pecah
3.
Masa Demokrasi Liberal
a.
Penyaluran tuntutan tinggi tapi
sistem belum memadani
b.
Pemeliharaan nilai penghargaan HAM
tinggi
c.
Kapabilitas baru sebagian yang
dipergunakan, kebanyakan masih potensial
d.
Integrasi vertikal dua arah, atas
bawah dan bawah atas
e.
Integrasi horizontal- disintegrasi,
muncul solidarity makers dan administrator
f.
Gaya politik - ideologis
g.
Kepemimpinan angkatan sumpah pemuda
tahun 1928
h.
Partisipasi massa sangat tinggi,
bahkan muncul kudeta
i.
Keterlibatan militer militer
dikuasai oleh sipil
j.
Aparat negara loyak kepada
kepentingan kelompok atau partai
k.
Stabilitas - instabilitas
4.
Masa Demokrasi terpimpin
a.
Penyaluran tuntutan tinggi tapi
tidak tersalurkan karena adanya Front
b.
Pemeliharaan nilai Penghormatan HAM
rendah
c.
Kapabilitas abstrak, distributif
dan simbolik, ekonomi tidak maju
d.
Integrasi vertikal atas bawah
e.
Integrasi horizontal berperan
solidarity makers,
f.
Gaya politik ideolog, nasakom
g.
Kepemimpinan tokoh kharismatik dan
paternalistik
h.
Partisipasi massa - dibatasi
i.
Keterlibatan militer militer masuk
ke pemerintahan
j.
Aparat negara loyal kepada negara
k.
Stabilitas - stabil
5.
Masa Demokrasi Pancasila
a.
Penyaluran tuntutan awalnya seimbang
kemudian tidak terpenuhi karena fusi
b.
Pemeliharaan nilai terjadi
Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
c.
Kapabilitas sistem terbuka
d.
Integrasi vertikal atas bawah
e.
Integrasi horizontal - nampak
f.
Gaya politik intelek, pragmatik,
konsep pembangunan
g.
Kepemimpinan teknokrat dan ABRI
h.
Partisipasi massa, awalnya bebas kemudian
lebih banyak dibatasi
i.
Keterlibatan militer merajalela
dengan konsep dwifungsi ABRI
j.
Aparat negara loyal kepada
pemerintah (Golkar)
k.
Stabilitas stabil
6.
Masa Reformasi
a.
Penyaluran tuntutan tinggi dan
terpenuhi
b.
Pemeliharaan nilai Penghormatan HAM
tinggi
c.
Kapabilitas disesuaikan dengan
Otonomi daerah
d.
Integrasi vertikal dua arah, atas
bawah dan bawah atas
e.
Integrasi horizontal nampak, muncul
kebebasan (euforia)
f.
Gaya politik - pragmatik
g.
Kepemimpinan sipil, purnawiranan,
politisi
h.
Partisipasi massa - tinggi
i.
Keterlibatan militer - dibatasi
j.
Aparat negara harus loyal kepada
negara bukan pemerintah
k. Stabilitas - instabil
B.
Pengaruh
Budaya Sastra dalam Perpolitikan Indonesia
Proses politik mengisyaratkan harus
adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk
menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam
menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik
zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal
abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan
pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi
(performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat,
lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.[12]
Pengaruh Budaya Sastra ini akan
memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit
politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan
internasional.
Terdapat 4 kapabilitas yang menjadi
penilaian perubahan akibat pengaruh Budaya Sastra dalam sistem politik
Indonesia :
1.
Kapabilitas Regulatif (pengaturan).
Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka
dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan
pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi
diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
2.
Kapabilitas Simbolik, artinya
kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang
akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah
maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
3.
Kapabilitas Responsif, dalam proses
politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan
pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi
masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
4.
Kapabilitas dalam Negeri dan
Internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang
mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas
ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas
internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi dalam
melihat pengaruh budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, yaitu pendekatan
pembangunan[13],
yang terdiri dari 2 hal:
1.
Pembangunan politik masyarakat
berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan
masyarakat ini bisa dilakukan secara tawaran pragmatik seperti yang digunakan
di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau
tradisionalistik.
2.
Pembangunan politik pemerintah
berupa stabilitas politik.
C.
Politikus
Sukses yang Berjiwa Sastra
1.
Muhammad Natsir
Muhammad Natsir, lahir di
Alahan Panjang, Sumatra Barat tanggal 17 Juli 1908 dari seorang pegawai
pemerintahan.[14] Natsir nama pendeknya
adalah salah satu anggota dari partai Masyumi yang berdiri pada tanggal 7
Nopember 1945 di Yogyakarta. Yang semenjak itu partai Masyumi sebagai
Organisasi perjuangan bagi umat Islam Indonesia dilapangan politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan, pertahanan, dan diplomasi.[15]
Indonesia sekarang seakan-akan hidup di sebuah
lingkaran setan yang tak terputus: regenerasi kepemimpinan terjadi, tapi
birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebih baik,
terlalu jauh dari jangkauan. Natsir seolah-olah wakil sosok yang berada di luar
lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil,
bersahaja.
Pada tanggal 3 April 1950, Muhammad Natsir
menyampaikan pidatonya yang bersejarah pidato itu ditutup dengan menyampaikan
suatu pernyataan politik yang diploporinya sendiri dan disokong oleh sebelas
ketua-ketua fraksi dari beberapa aliran politik. Tentang pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Yang sekarang sidang tersebut dikenal dengan Mosi
Integral Natsir.[16]
Dipa Nusantara Aidit, Ketua Comite Central
Partai Komunis Indonesia, adalah musuh ideologis nomor satu Mohammad Natsir.
Aidit memperjuangkan tegaknya komunisme di Indonesia. Natsir sebaliknya. Tokoh
Masyumi itu menginginkan negara dijalankan di atas nilai-nilai Islami.
Pertentangan ini membuat keduanya sering berdebat keras di ruang sidang Dewan
Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Tapi, di luar sidang, keduanya bersahabat.
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu
memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak
bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si
pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuangan Rakyat
Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak
PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia
ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.
“Kalaupun besar, tidak akan
melanda, kalaupun tinggi, malah akan melindungi”.[17] Mohammad Natsir menarik karena ia santun, bersih,
konsisten, toleran, tapi teguh berpendirian. Satu teladan yang jarang.
2. Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah)
Kota Melaka tinggallah
sayang
Beta nak balik ke pulau
perca
Walau terpisah engkau
sekarang
Lambat laun kembali pula
Walau luas watan terbentang
Danau maninjau tergenang jua[18]
Sepenggal karya sastra Buya Hamka mengenai tempat kelahirannya.
Hamka atau Buya Hamka selain seorang Ulama, sastrawan dan pujangga dia juga
aktif di kancah politik, Hamka terpilih menjadi anggota Konstituante.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang
bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan
memberlakukan kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama
umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya
tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan
pendiriannya, Akan tetapi Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya
sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Hamka juga
merupakan seorang penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an,
Hamka menjadi wartawan beberapa buah seperti Pelita Andalas, Seruan
Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. ia juga menjadi editor majalah
al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman
Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka
adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama
dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga,
ia meneliti karya sarjana Barat seperti Arnold Toynbee dan Pierre Loti.
Hamka juga
banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain. Hamka menulis buku
romannya yang pertama dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga
menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk, sejarah, sosial kemasyarakatan,
pemikiran dan pendidikan. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir
al-Azhar. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat
nasional maupun internasional.
3. Amin Rais
Amien Rais lahir
di Solo, 26 April 1944, dari sebuah keluarga yang sangat taat
dalam menjalankan agamanya. Inilah Amien Rais mulai menyadari kekuatan kebersamaan
dan makna kepemimpinan. Ketika menjadi mahasiswa, ia termasuk salah seorang
pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah [IMM]. Ia juga pernah aktif
di Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah dipercaya untuk menduduki
jabatan sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam [LDMI], HMI Yogyakarta.
Di samping kegandrungannya
berorganisasi, Amien Rais juga sudah mulai aktif menulis artikel sejak
belia. Oleh tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung
bersama-sama dengan Harian Kami di Jakarta, koran mahasiswa yang legendaris di
awal Orde Baru, Amien pernah dianugerahi Zainal Zakse Award.”
Dalam perpolitikan di Indonesia,
Amien Rais ikut andil besar juga. Ia pernah menjabat sebagai ketua MPR RI ketika
di akhir masa rezim Soeharto atau Orde Baru. Beliaulah yang mencetuskan peralihan
system perpolitikan di Negara Indonesia ini, yang pada waktu itu dikenal dengan
peralihan dari syistem perpolitikan Demokrasi Pancasila menuju system
Reformasi, dengan dimotori dari kalangan aktifis mahasiswa yang menduduki
gedung DPR-MPR RI pada waktu itu.[19]
D.
Tantangan
dan Hambatan Budaya Sastra dalam Perpolitikan Indonesia
Tantangan dan Hambatan Budaya
Sastra dalam Perpolitikan Indonesia, berawal dari krisis moral, dengan arti
bahwa krisis moral ini telah menimbulkan ketegangan global antar masyarakat
manusia, sesuatu yang akhirnya menghilangkan rasa aman dalam diri umat manusia.
Krisis moral ini selanjutnya menghilangkan keseimbangan sosial, ekonomi,
politik, dan budaya, sesuatu yang dengan sendirinya mengancam kelangsungan
peradaban umat manusia.[20]
Krisis moral ini menurut
Muhammad Anis Matta dalam karya kecilnya Membentuk Karakter Cara Islam adalah
di sebabkan oleh beberapa faktor :
1.
Terjadinya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran
manusia yang menyebabkan paradoks antar
nilai.
2.
Hilangnya model-model kepribadian yang integral; yang
memadukan keshalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, kekayaan
dengan kedermawanan, kekuasaan dengan keadilan, kecerdasan dengan kejujuran,
dan seterusnya.
3.
Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral
4.
Lemahnya peranan lembaga sosial yang menjadi basis
pendidikan moral.
Penyebab pokoknya menurut
Sayyid Qutb dalam karya besarnya, Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dasar-dasar sistem
ekonomi sosial yang diterjemahkan oleh Muhammad Abbas Aula, menyebutkan bahwa
penyebab pokoknya adalah kehampaan jiwa manusia yang tersiksa, tersesat, dan
dirundung malang oleh segala kemewahan material yang dimiliki, jiwa yang sangat
dahaga dengan bekal rohani, iman, ketentraman dan kedamaian pada Allah SWT.[21]
Menurut Abdullah Gymnastiar
dalam bukunya Hidup Itu Nikmat, Cara Cerdas Menggapai Ketenangan dan
Kebahagiaan Hakiki menyebutkan bahwa “Kriteria Pemimpin(Politikus) itu harus
memiliki unsur-unsur yang disingkat dengan 5T ABC, yaitu : Teladan, Telaten,
Tawadhu, Tanggung Jawab, Teguh Pendirian (Istiqamah), dan ABC adalah: Adil,
Bijaksana dan memiliki rasa Cinta.[22] Fazlur Rahman menegaskan dalam Bukunya Islam Modern, Tantangan
Pembaruan Islam bila harapan ini kita
hadapkan kepada kenyataan, untuk menumbuhkan suasana segar bagi pemikiran yang
hidup, kreatif dan tuntas dalam suasana persaudaraan dan solidaritas yang
mantap. Maka kita pada waktu ini masih perlu melatih diri untuk dewasa secara
intelektual dan emosional.[23]
Menurut Yus Rusyana dalam karyanya Bahasa dan Sastra dalam
Gamitan Pendidikan[24] menjelaskan bahwa faktor masalah dalam pembudayaan bahasa
dan sastra di masyarakat diantaranya :
1. Masalah individu dalam hal
ini yaitu masyarakat itu sendiri sebagai pelaku bahasa(sastra)
2. Masalah pendidikan
bahasa(sastra)
3. Masalah lingkungan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ternyata bahasa etika
sangat penting dalam kehidupan manusia ini, manusia sebagai makhluk sosial yang
berinteraksi dengan manusia lainnya, stiap hari bahkan setiap jam dan waktu
manusia menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi, untuk menyampaikan apa yang
ada di benak pikirannya.
Dengan tata bahasa, serta
menghubungkan berbagai-bagai jenis kata yang menjadi inti dalam bahasa dan
berusaha menemukan hubungan-hubungannya dengan pikiran yang dinyatakannya
sehingga dapat mudah di pahami dengan baik dan dapat di terima oleh teman
bicaranya, yang kemudian terjadilah feedback dalam proses komunikasi.
B. Saran-saran
Tak ada gading yang tak retak, ungkapan yang pas untuk karya
tulis ini. Penulis menyadari akan kekurangan karya tulis ini, penulis berharap
akan kritikan dan saran saudara pembaca untuk penyusunan karya tulis
berikutnya. Yaitu kritikan yang bertujuan untuk membangun serta saran-saran
atas kekurangan karya tulis ini. Penulis ucapkan terima kasih atas kritik dan
sarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil,Ahmad dkk. Sejarah dan
Kebudayaan Islam-Jilid 3. CV. Toha Putra. Semarang. 1984
Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Makasar, Sejarah Perkembangan Perpolitikan Indonesia Makalah
tahun 2011
Fatoni, Uwes. Sistem Politik
Indonesia. Makalah Materi Perkuliahan. Tanggal 28 Maret 2006
Gaffas, Badrut Tamam. Jalan
Istiqamah sang Legenda Prof Dr Hamka, Ulama Pejuang Politisi Sejati dan
Pujangga Terkemuka.
Gymnastiar, Abdullah. Hidup itu
Nikmat, Cara Cerdas Menggapai Ketenangan & Kebahagiaan Hakiki. Grafindo.
Jakarta 2005
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibnu
Khaldun. Terjem Ismail Yakub. CV. Faizan. Jakarta. 1982
Matta, Muhammad Anis. Membentuk
Karakter Cara Islam. Al-I’tishom Cahaya Umat. Jakarta. 2003
Mehra,Partap Sing dkk. Pengantar
Logika Tradisional. Bina Cipta. Bandung. 1964
Puar,Yusuf Abdullah. Muhammad
Natsir 70 tahun kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan. Pustaka Antara.
Jakarta. 1978
Rahman, Fazlur. Islam Modern
Tantangan Pembaruan Islam. Shalahuddin Press. Yogyakarta. 1987
Rusyana Yus, Bahasa dan Sastra
dalam Gamitan Pendidikan. CV. Diponegoro Bandung. 1984
Shiddiqi, Nourouzzaman dkk. Etika
Pembangunan dalam Pemikiran Islam di Indonesia. CV. Rajawali. Jakarta 1986
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati,
Kisah dan Hikmah Kehidupan. Mizan. Bandung. 1998
Syaukani,Ahmad. Perkembangan
Pemikiran Modern di dunia Islam. Pustaka Setia.Bandung. 1997
WS. Indrawan, Kamus Ilmiah
Populer. Lintas Media. Jombang. 1999
Qutb, Sayid. Dasar-dasar Sistem
Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Terjem Muhammad Abbas
Aula. Litera AntarNusa. Jakarta. 1994
[1] Quraish
Shihab, Lentera Hati (Bandung : Mizan, 1998) hal 369
[2] Indrawan WS, Kamus
Ilmiah Populer (Jombang : Lintas Media) hal 56
[3] Nourouzzaman
Shiddiqi dkk, Etika Pembangunan dalam Pemikiran Islam Indonesia (Jakarta
: Rajawali, 1986) hal 172
[4] Partap Sing
Mehra,Pengantar Logika Tradisional (Bandung : Bina Cipta,1964) hal. 7
[5] Yus Rusyana, Bahasa
dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan(Bandung:Diponegoro,1984) hal 299
[6] Quraish
Shihab, op.cit. hal 291
[7] Ibid. hal 344
[8] Indrawan WS.
Op.cit. hal 213
[9] Ibnu Khaldun, Muqaddimah
Ibnu Khaldun (Jakarta : Faizan, 1982), hal 82-83
[10] Uwes Fatoni. Sistem
Politik Indonesia. Makalah Materi Perkuliahan. Tanggal 28 Maret
[11]Ibid. hal 3
[12]Ibid. hal 1
[13] Ibid. hal 2
[14]Ahmad Syaukani,
Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam (Bandung: Pustaka
Setia,1997) hal 125
[15] A. Djamil, Sejarah
dan Kebudayaan Islam (Semarang : Toha Putra, 1984) hal 54
[16] Yusuf Abdullah
Puar, Muhammad Natsir, Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (
Jakarta : Pustaka Antara, 1978) hal 97
[17] Ibid. hal 202
[18] Badrut Tamam Gaffas. Jalan Istiqamah sang Legenda
Prof Dr Hamka, Ulama Pejuang Politisi Sejati dan Pujangga Terkemuka. Hal 1
[19]Makalah
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makasar Sejarah Perkembangan Perpolitikan Indonesia. tahun 2011
[20] Muhammad Anis
Matta, Membentuk Karakter Cara Islam (Jakarta : Al-I’tishom, 2003) hal 6
[21]Sayid Qutb, Dasar-dasar
system Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir fi Zilalil Qur’an (Bogor:LiteraAntarNusa,1994)hal
54
[22]Abdullah
Gymnastiar, Hidup itu Indah (Jakarta : Grafindo, 2005) hal 147-148
[23] Fazlur Rahman,
Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam (Yogyakarta:Shalahudin,1987) hal2
[24] Yus Rusyana,
op.cit. hal 227-228