Minggu, 18 Mei 2014

Shalat Pembeda Mu`min dan Munafiq



Shalat Pembeda Mu`min dan Munafiq

Shalat adalah barometer amal seseorang. Jika shalatnya baik, maka seluruh amalnya pun pasti baik. Jika shalatnya jelek, maka seluruh amalnya pun pasti jelek. Maka kita pun bisa mengukur kualitas keberagamaan kita dengan meninjau ulang shalat kita; apakah termasuk orang yang tingkat keberagamaannya sempurna (mu`min) ataukah yang tingkat keimanannya sangat rendah (munafiq)?

Orang yang tingkat keberagamaannya baik dan sempurna disebut oleh Allah swt dengan gelar mu`min, muttaqin (orang bertaqwa), orang yang mendapatkan cahaya Allah swt atau calon penghuni surga. Orang yang beriman itu sendiri, sebagaimana ditegaskan al-Qur`an, shalatnya selalu khusyu’:

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya (QS. al-Mu`minun [23] : 1-2).
Khusyu’ dalam shalat artinya merasakan takut akan siksa Allah swt; merasakan sakinah/ketenteraman melalui dzikir; tunduk sepenuhnya tanpa menengadahkan kepala, menolehkan penglihatan, dan memalingkan perhatian. Khusyu’ hanya bisa didapat oleh orang yang selalu mengutamakan shalat di atas semua kepentingan lainnya (Tafsir Ibn Katsir surat al-Mu`minun [23] : 1-2).
Orang yang mengutamakan shalat di atas kepentingan lainnya, dijamin oleh Allah swt akan selalu mendapat cahaya dan hidayah ilahi. Artinya, jika shalat selalu dinomorduakan sesudah kepentingan duniawi lainnya, atau bahkan dinomortigakan dan seterusnya, ia tidak akan pernah mendapatkan cahaya, hidayah dan bimbingan ilahi. Hidupnya akan gelap, sumpek, dan terasa menyesakkan.

Cahaya Allah itu ada di atas cahaya lainnya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Cahaya-Nya itu akan diberikan) di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya. Bertasbih kepada Allah di dalam masjid-masjid itu pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (QS. an-Nur [24] : 35-37. Dalam ayat ini secara jelas Allah swt mengaitkan antara ketakutan yang menjadi modal utama khusyu’ dengan kesigapan untuk mengutamakan shalat di atas kesibukan duniawi).
Orang beriman juga disebutkan Allah swt selalu “memelihara” shalatnya:

Dan orang-orang yang memelihara shalatnya (QS. al-Mu`minun [23] : 9).
“Memelihara” shalat ini artinya memelihara semua syarat dan rukunnya, termasuk waktu, gerakan, dan kekhusyuannya. Nabi saw menjelaskannya dalam hadits berikut:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلاَّهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Lima shalat telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala. Siapa yang membaguskan wudlu`nya dan melaksanakan shalat sesuai dengan waktunya, serta menyempurnakan rukuk dan kekhusyu'annya, maka ia berhak mendapatkan janji dari Allah bahwa Dia akan mengampuninya. Tetapi siapa yang tidak melakukannya maka ia tidak mendapatkan janji dari Allah; jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuninya, dan jika berkehendak, Dia akan mengadzabnya. (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab fil-muhafazhah 'ala waqtis-shalawat no. 425)
Dalam ayat lain, orang-orang yang baik shalatnya dan dijamin akan dimuliakan di surga ini adalah orang-orang yang mampu da`imun dalam shalatnya:

Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (QS. al-Ma’arij [70] : 23)
Makna da`im dalam bahasa Arab ada dua: Pertama, tenang dan tenteram. Artinya, dalam shalat, orang-orang ini sudah merasakan ketenangan dan ketenteraman. Atau dalam istilah lainnya sudah khusyu’. Kedua, menetap dan konsisten. Artinya orang-orang ini sudah istiqamah dan konsisten dalam shalatnya, tidak naik turun terpengaruh oleh naik turunnya keimanan, naik turunnya rizki, atau silih bergantinya musibah. Apapun situasi dan kondisinya, shalatnya akan tetap baik, tanpa terkecuali (Tafsir Ibn Katsir surat al-Ma’arij [70] : 23)
Sementara orang yang bertaqwa, disebutkan oleh Allah swt, selalu memperhatikan shalat dari mulai yang wajib sampai semua yang sunatnya, dimana puncak semua yang sunat itu adalah shalat tahajjud/shalat malam.

(Orang bertaqwa itu) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di waktu sahur [akhir-akhir malam] mereka beristighfar [memohon ampun kepada Allah] (QS. ad-Dzariyat [51] : 17-18).
Dalam edisi sebelumnya sudah dibahas bahwa yang dimaksud sedikit tidur dalam ayat di atas bukan sembarang begadang, tetapi memenuhinya dengan shalat tahajjud dan disertai istighfar. Lebih tegas lagi Allah swt menyatakan:

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap (QS. as-Sajdah [32] : 16).
Maksud ayat ini, orang-orang yang sedikit tidur itu bukan karena sembarang begadang, tetapi memenuhinya dengan berdo’a kepada Allah swt. Secara spesifik para shahabat dan ulama salaf sesudahnya menyebutkan bahwa yang dimaksud menjauhi tempat tidurnya itu adalah untuk shalat di waktu malam, di samping menyibukkan diri dengan berdo’a. Shalat di waktu malam yang dimaksud ada tiga: (1) Shalat ‘Isya, (2) shalat Tahajjud, dan (3) shalat Shubuh (Tafsir Ibn Ktasir surat as-Sajdah [32] : 16).
Ketiga shalat tersebut memang merupakan barometer keimanan seseorang. Jika imannya sempurna, maka ia mampu melaksanakan shalat Tahajjud. Tetapi jika imannya masih minim atau dengan kata lain munafiq (munafiq amal, bukan munafiq kafir), maka shalat ‘Isya dan Shubuh pun selalu dilaksanakan tidak tepat pada waktunya, dan tidak dilaksanakan secara berjama’ah di masjid (bagi laki-laki). Apalagi shalat Tahajjud, apalagi sampai khusyu’, mengutamakan, memelihara, dan da`im dalam semua shalatnya, semua itu tidak ada dalam agenda hariannya. Sabda Nabi saw:
إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafiq adalah shalat ‘Isya dan Shubuh. Andai saja mereka tahu pahala yang ada pada keduanya pasti mereka datang (ke masjid) walau harus merangkak (Shahih Muslim kitab al-masajid bab fadlli shalatil-jama’ah no. 1514).
Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.

Beristighfar di Waktu Sahur





Beristighfar di Waktu Sahur

Dari sekian waktu yang ada, waktu sahur merupakan waktu yang paling istimewa untuk dijadikan waktu beristighfar. Orang yang bertaqwa, sebagaimana dinyatakan al-Qur`an, tidak mungkin melewatkan waktu sahur tanpa istighfar.


Dalam al-Qur`an surat Ali ‘Imran, Allah swt menyebutkan salah satu karakter orang bertaqwa yang tidak akan silau oleh tipuan dunia adalah orang-orang yang selalu beristighfar di waktu sahur:

(Orang bertaqwa itu adalah) orang-orang yang berdo’a: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka," (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya, dan yang memohon ampun di waktu sahur (QS. Ali ‘Imran [3] : 16-17).
Dalam surat adz-Dzariyat, Allah swt juga menyebutkan orang bertaqwa yang akan mendapatkan kenikmatan surga adalah orang-orang yang selalu beristighfar di waktu sahur:

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di waktu sahur [akhir-akhir malam] mereka beristighfar [memohon ampun kepada Allah] (QS. ad-Dzariyat [51] : 17-18).
Waktu sahur (istilah yang sebenarnya adalah sahar, tetapi lebih akrab disebut sahur) itu sendiri adalah waktu akhir malam. Dalam hadits disebutkan bahwa waktu yang dimaksud adalah setelah lewat sepertiga malam pertama sampai sepertiga malam terakhir dan sampai shubuh.
يَنْزِلُ اللهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كُلَّ لَيْلَةٍ حِينَ يَمْضِى ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ فَيَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الْمَلِكُ مَنْ ذَا الَّذِى يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ ذَا الَّذِى يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ ذَا الَّذِى يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ فَلاَ يَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يُضِىءَ الْفَجْرُ
Allah turun ke langit terendah (dari tujuh langit) setiap malam ketika berlalu sepertiga malam pertama, lalu Dia berkata: "Akulah Raja, Akulah Raja. Adakah orang yang ingin berdo'a kepada-Ku, lalu Aku pasti mengabulkannya? Adakah orang yang ingin meminta kepada-Ku lalu Aku pasti memberinya? Dan adakah orang yang ingin beristighfar kepada-Ku, lalu Aku pasti mengampuninya?" Demikianlah hal itu berlangsung sampai terbit fajar (Shahih Muslim kitab shalat al-musafirin bab at-targhib fid-du'a wadz-dzikri fi akhiril-lail wal-ijabah fih no. 1809).
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Rabb kita turun ke langit terendah (dari tujuh langit) setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: "Siapa yang ingin berdo'a kepada-Ku, lalu Aku pasti mengabulkannya? Siapa yang ingin meminta kepada-Ku lalu Aku pasti memberinya? Siapa yang ingin beristighfar kepada-Ku, lalu Aku pasti mengampuninya?" (Shahih al-Bukhari kitab at-tahajjud bab ad-du’a fis-shalat min akhiril-lail no. 1145; Shahih Muslim kitab shalat al-musafirin bab at-targhib fid-du'a wadz-dzikri fi akhiril-lail wal-ijabah fih no. 1808).
Hadits di atas dicantumkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya sebagai penafsiran dari QS. adz-Dzariyat [51] : 17-18. Al-Bukhari memberikan tarjamah: bab ad-du’a fis-shalat min akhiril-lail [do’a dalam shalat di akhir malam]. Artinya Imam al-Bukhari menunjukkan kepada kita semua bahwa sahur yang dimaksud surat adz-Dzariyat di atas itu adalah akhir malam. Waktunya, sebagaimana tampak dalam dua hadits di atas mulai dari sepertiga malam kedua (sesudah berlalu sepertiga malam pertama), sampai sepertiga malam ketiga, dan sampai shubuh. Jadi kalau malam hitungannya dari jam 19.00 s.d 04.00 (9 jam), berarti sepertiga malam pertamanya dari jam 19.00-22.00, sepertiga malam kedua dari jam 22.00-01.00, dan sepertiga malam ketiga dari jam 01.00-04.00. Jika hadits di atas menjelaskan bahwa Allah swt turun langsung dari ‘Arsy (yang berada di atas kursi [kursi sebagaimaa dimaksud ‘ayat kursi’] dan tujuh langit) ke langit yang paling bawah/yang paling dekat ke bumi sejak sepertiga malam kedua, berarti sekitar jam 22.00. Dari mulai saat itu sampai shubuh, Allah swt menyeru manusia tanpa henti: "Siapa yang ingin berdo'a kepada-Ku, lalu Aku pasti mengabulkannya? Siapa yang ingin meminta kepada-Ku lalu Aku pasti memberinya? Siapa yang ingin beristighfar kepada-Ku, lalu Aku pasti mengampuninya?" Hanya pertanyaannya, apa yang kita lakukan ketika Allah swt menyeru dan memanggil kita? Sigap berdo’a, meminta dan beristighfar, ataukah hanya menonton TV, bersenda gurau, dan tidur? Di sinilah keistimewaan waktu sahur yang tidak mungkin dilewatkan oleh orang bertaqwa tanpa beristighfar. Sebab Allah swt sendiri langsung yang menyeru manusia dan menjamin langsung diijabahnya semua do’a, permintaan, dan permohonan ampun.
Imam al-Bukhari memasukkan hadits di atas dalam kitab at-tahajjud, maksudnya bab tentang bangun di waktu malam untuk shalat tahajjud. Dalam tarjamah-nya Imam al-Bukhari juga menyatakan: bab ad-du’a fis-shalat min akhiril-lail, maksudnya tentang do’a dalam shalat di akhir malam. Itu berarti Imam al-Bukhari memberikan petunjuk kepada kita bahwa istighfar di waktu sahur itu merupakan salah satu do’a yang dipanjatkan dalam shalat tahajjud di akhir malam. Maka maksud firman Allah swt yang menyebutkan salah satu karakter orang bertaqwa: Beristighfar di waktu sahur, maksudnya yang bangun di akhir malam untuk shalat tahajjud sambil menyertakan istighfar di dalamnya. Itu artinya tidak hanya beristighfar tanpa shalat tahajjud, tetapi shalat tahajjud plus beristighfar.
Sementara itu, al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya mencantumkan beberapa riwayat tentang amaliah shahabat terkait istighfar di waktu sahur ini:
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا نَافِعُ، هَلْ جَاءَ السَّحَر؟ فَإِذَا قَالَ: نَعَمْ، أَقْبَلَ عَلَى الدُّعَاءِ وَالِاسْتِغْفَارِ حَتَّى يُصْبِحَ. رَوَاهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ.
‘Abdullah ibn ‘Umar shalat malam (tahajjud), kemudian bertanya: “Hai Nafi’ (putranya), apakah waktu sahur telah datang?”Jika Nafi’ menjawab: “Ya,” maka Ibn ‘Umar mulai berdo’a dan beristighfar sampai datang waktu shubuh. Riwayat Ibn Abi Hatim.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:...عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ حَاطِبٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا فِي السَّحَرِ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ وهو يقول: ربّ أمرتني فأطعتك، وَهَذَا سَحَرٌ، فَاغْفِرْ لِي. فَنَظَرْتُ فَإِذَا ابْنُ مَسْعُودٍ.
Ibn Jarir berkata: ...dari Ibrahim ibn Hathib, dari ayahnya, ia berkata: Aku mendengar seseorang di waktu sahur di salah satu sudut masjid berdo’a: “Wahai Rabb, Engkau telah memerintahku untuk ta’at, dan aku pun ta’at kepada-Mu. Dan sekarang waktu sahur, ampunilah aku.” Aku lihat orang itu, ternyata ia shahabat Ibn Mas’ud.
وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا نُؤْمَرُ إِذَا صَلَّيْنَا مِنَ اللَّيْلِ أنْ نَسْتَغْفِرَ فِي آخِرِ السَّحَرِ سَبْعِينَ مَرَّةً
Ibn Marduwaih meriwayatkan dari Anas ibn Malik, bahwasanya ia berkata: “Kami (para shahabat) diperintah apabila shalat malam (tahajjud) untuk beristighfar di akhir malam sebanyak 70 kali.”
Ketiga riwayat di atas memberi petunjuk bahwa istighfar di waktu sahur itu bisa juga diamalkan sesudah shalat tahajjud pada tengah/akhir malam, sebelum datangnya shubuh, di antaranya dengan cara mengucapkan istighfar sampai 70 kali.  Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.