Minggu, 02 Februari 2014

Mencintai Nabi saw dengan Benar

Mencintai Nabi saw dengan Benar

Mencintai Nabi saw lebih dari mencintai diri sendiri dan keluarga merupakan aqidah yang sangat mendasar bagi seorang muslim. Akan tetapi tidak sedikit kaum muslimin yang tulus mencintai Nabi saw dengan cinta yang salah kaprah. Jadinya cinta pun bertepuk sebelah tangan.

Beberapa ulama salaf ada yang sudah mengingatkan persoalan cinta bertepuk sebelah tangan ini melalui pernyataan:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ
Yang pokok itu bukan klaim ‘mencintai’, tetapi yang pokok itu adalah fakta bahwa kita ‘dicintai’ (Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 31).
Pernyataan tersebut dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tasfirnya terkait firman Allah swt:

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Ali ‘Imran [3] : 31).
Ibn Jarir at-Thabari mengemukakan beberapa riwayat tentang sababun-nuzul (latar belakang historis turun) ayat ini, dimana ada beberapa orang yang datang kepada Nabi saw dan mereka menyatakan: “Sungguh kami benar-benar cinta kepada Allah.” Tidak lama dari itu maka turunlah ayat ini. Riwayat lainnya, beberapa orang Kristen Najran pernah menyatakan hal yang serupa di hadapan Nabi saw. Tetapi mereka juga bersikukuh dengan pengkultusannya kepada Nabi ‘Isa/Yesus dan pada agama Kristen mereka. Maka Nabi saw pun membacakan ayat ini. Sementara itu, Wahbah az-Zuhaili mengutip pernyataan Ibn ‘Abbas yang menjelaskan bahwa ayat ini duturunkan terkait pengakuan orang Yahudi dan Kristen sebagaimana dikemukakan Allah swt dalam QS. Al-Ma`idah [5] : 18: Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya.
Dari sejumlah riwayat ini maka Ibn Katsir memberikan catatan: “Ayat yang mulia ini memutuskan bahwa siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, tapi tidak menggunakan thariqah Muhammadiyyah (jalannya Nabi Muhammad saw), maka sesungguhnya ia batal dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at Muhammad dan agamanya dalam seluruh perkataan dan perbuatannya. Sebagaimana telah dikemukakan Rasulullah saw dalam salah satu riwayat yang shahih: ‘Siapa yang beramal satu amal yang tidak ada padanya perintah kami, maka amal itu pasti ditolak.”
Artinya, klaim cinta kepada Allah swt juga kepada Nabi saw, semuanya bisa dinyatakan tidak benar jika tidak sampai ittabi’uni; mengikuti ajaran yang ditetapkan Nabi saw. Terlebih jika klaim cinta tersebut malah disertai dengan pengamalan beberapa amalan yang sama sekali tidak pernah digariskan oleh Nabi saw, meskipun sang pengamal mengklaim bahwa amal-amalan tersebut baik atau sangat baik. Semuanya akan tertolak; fa huwa raddun.
Shahabat Anas ibn Malik meriwayatkan: Ada tiga orang shahabat Nabi saw datang bertamu ke rumah Nabi saw. Sebelum mereka diterima oleh Nabi saw, mereka bertanya kepada istri beliau tentang ibadah beliau saw. Istri Nabi saw pun memberitahukan bahwa Nabi saw rajin shaum di siang hari, tetapi tetap buka di malam hari. Nabi saw rajin shalat Tahajjud di setiap malam, tetapi tetap menyisakan sedikit waktunya untuk tidur malam. Nabi saw pun menjauhi zina dalam level kecil sekalipun, tetapi beliau tetap menikahi beberapa istri. Setelah diberitahu seperti itu, mereka menganggap bahwa amal-amal tersebut terlalu sedikit untuk ukuran mereka. Untuk level Nabi saw yang sudah dijamin diampuni dosanya, mungkin itu sudah cukup. Tetapi untuk level mereka yang belum pasti diampuni dosanya, amal tersebut terlalu sedikit dan harus ditambah lagi. Mereka pun bertekad untuk menambah amal-amalan yang melebihi amal yang dicontohkan Nabi saw. Tetapi rupanya Nabi saw yang mendengar obrolan mereka dari dalam malah memarahi mereka.
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Anas ibn Malik berkata: Ada tiga orang yang datang ke rumah istri Nabi saw untuk bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika mereka diberitahu mereka menganggapnya remeh, sambil berkata: "Kita tidak sama dengan Nabi saw. Beliau sudah diampuni dosanya baik yang lalu atau yang akan datang." Kata salah seorang dari mereka: "Aku akan shalat malam selamanya semalam suntuk." Kata yang satunya lagi: "Aku akan shaum selama mungkin dan tidak berbuka." Kata yang satunya lagi: "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya." Lalu Rasulullah saw datang dan bersabda: "Kalian yang tadi ngomong seperti ini! Demi Allah, aku ini orang yang paling takut dan taqwa kepada Allah, tapi aku shaum dan buka, aku shalat malam dan tidur, dan aku menikah. Siapa yang tidak senang pada sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku." (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab at-targhib fin-nikah no. 5063)
Artinya, siapa saja yang menilai amal yang dicontohkan Nabi saw terlalu sedikit dan tidak cukup, maka itu berarti sudah membenci sunnah Nabi saw. Itu juga berarti bahwa ia sudah bukan bagian dari umat Nabi saw. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.
Imam Muslim meriwayatkan, seorang shahabat bernama Rabi’ah ibn Ka’ab al-Aslami, saking cintanya kepada Nabi saw, bermalam di rumah Nabi saw dan menyediakan air untuk keperluan wudlu dan buang air Nabi saw. Suatu saat Nabi saw menyuruhnya untuk meminta. Tetapi ia hanya meminta untuk bisa menemani Nabi saw di surga.
قَالَ رَبِيعَةُ بْنُ كَعْبٍ الأَسْلَمِىُّ كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ r فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِى سَلْ. فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِى الْجَنَّةِ. قَالَ أَوَغَيْرَ ذَلِكَ. قُلْتُ هُوَ ذَاكَ. قَالَ فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
Rabi’ah ibn Ka’ab al-Aslami berkata: Aku bermalam bersama Rasulullah saw. Aku menyediakan air wudlu dan untu keperluan buang airnya. Nabi saw lalu bersabda kepadaku: “Mintalah kamu!”Aku jawab: “Aku minta agar aku bisa menemaniu di surga.” Sabda Nabi saw: “Ada yang lain?” Aku jawab: “Hanya itu.” Nabi saw bersabda: “Maka bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan memperbanyak sujud.” (Shahih Muslim bab fadllis-sujud wal-hatstsi ‘alaih no. 1122)
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa memperbanyak sujud di sana artinya “di dalam shalat”. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram memasukkan hadits tersebut dalam bab shalat sunat. Artinya jika benar mencintai Nabi saw dan ingin menemaninya di surga, perbanyaklah shalat sunat. Shalat sunat yang tentunya disunnahkan Nabi saw.
Artinya, cinta Nabi saw yang benar adalah dengan fokus kepada sunnah dan ibadah-ibadah sunat yang telah dicontohkannya, yang jumlahnya sangat banyak. Bukan pada menambah amal-amal lain melebihi sunnnahnya. Sebab sebagaimana dinyatakan dalam hadits lain:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِنْ السُّنَّة مِثْلُهَا ؛ فَتَمَسُّكٌ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ إِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
Tidaklah satu kaum membuat bid’ah melainkan akan dicabut sunnah yang semisalnya. Maka memegang teguh sunnah itu lebih baik daripada membuat bid’ah (Musnad Ahmad bab hadits Ghadlif ibn al-Harits no. 17011. Menurut Ibn Hajar dalam Fath al-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida` bi sunani Rasulillah saw, hadits ini sanadnya jayyid).

Kedudukan Nur Muhammad



Kedudukan Nur Muhammad

Ada satu riwayat yang menyatakan demikian:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَخْبِرْنِي عَنْ أَوَّلِ شَيْءٍ خَلَقَهُ اللهُ تعالى قَبْلَ الْأَشْيَاءِ. قال: يَا جَابِرُ إِنَّ اللهَ خَلَقَ قَبْلَ الْأَشْيَاءِ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ فَجَعَلَ ذَلِكَ النُّوْرَ يَدُوْرُ بِالْقُدْرَةِ حَيْثُ شَاءَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ لَوْحٌ وَلاَ قَلَمٌ وَلاَ جَنَّةٌ وَلاَ نَارٌ وَلاَ مَلَكٌ وَلاَ سَمَاءٌ وَلاَ أَرْضٌ وَلاَ شَمْسٌ وَلاَ قَمَرٌ وَلاَ جِنِّيٌّ وَلاَ إِنْسِيٌّ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah ia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, atas nama ayah dan ibuku, beritahukan kepadaku hal pertama yang Allah ciptakan sebelum segala sesuatu.” Beliau menjawab: “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum segala sesuatu cahaya (nur) Nabimu dari cahaya-Nya. Lalu Dia menjadikan cahaya itu bersinar dengan kekuasaan-Nya dan kehendak-Nya. Belum ada pada waktu itu lauh, qalam, surga, neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia.”
Riwayat di atas dituliskan oleh al-‘Ajluni dalam kitab Kasyful-Khifa` 1 : 265 (sebuah kitab khusus yang menyingkap hadits-hadits asing yang menyebar di tengah-tengah masyarakat). Al-‘Ajluni menyebutkan bahwa khabar di atas riwayat ‘Abdurrazzaq. Akan tetapi setelah penulis telusuri di kitab Mushannaf ‘Abdirrazzaq dan Tafsir ‘Abdirrazzaq melalui program maktabah syamilah ternyata riwayat di atas tidak ditemukan. Tidak ditemukan juga riwayat ini di semua kitab hadits yang mu’tabar (otoritatif). Maka dari itu Syaikh al-Albani menilai riwayat ini sebagai hadits bathil (tidak benar/haq). Terlebih ketika faktanya bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa yang pertama kali Allah swt ciptakan adalah qalam, darinyalah Allah swt menuliskan semua qadar/taqdir dari awal sampai akhir (Sunan at-Tirmidzi bab tafsir surah Nun no. 3319. Hadits shahih). Juga bertentangan dengan hadits yang menyatakan bahwa hanya malaikat yang diciptakan dari cahaya, sementara Adam diciptakan dari tanah dan keturunannya dari air mani, sebagaimana telah dijelaskan al-Qur`an (Shahih Muslim kitab az-zuhd war-raqa`iq bab fi ahadits mutafarriqah no. 7687. Rujuk as-Silsilah as-Shahihah no. 458).
Dalam kitab tafsir, riwayat ini hanya ditemukan dalam kitab tafsir Ruhul-Ma’ani/al-Alusi dan Ruhul-Bayan/Isma’il Haqqi tanpa menjelaskan sanadnya sebagai tafsir dari ayat QS. Qaf [50] : 1-4 dan al-Anbiya [21] : 107. Dua kitab tafsir tersebut adalah kitab tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dengan pendekatan batin/isyarat. Metode tafsir isyari/batin ini bisa dibenarkan jika tidak bertentangan dengan dalil yang lebih shahih dan sharih. Jika faktanya riwayat di atas bertentangan dengan dalil yang lebih shahih, maka jelas riwayat di atas tidak bisa dinyatakan sebagai penafsiran dari firman Allah swt yang menjelaskan keistimewaan Nabi Muhammad saw tersebut. Artinya, keistimewaan Nabi saw dalam QS. Qaf [50] : 1-4 dan al-Anbiya [21] : 107 tidak terkait dengan Nur Muhammad, melainkan dengan sejumlah kemuliaan lain yang sudah dimaklumi.

Shaum Tasu'a 'Asyura



Shaum Tasu’a ‘Asyura

Shaum yang diajarkan Nabi saw dalam kaitannya dengan bulan Muharram hanya Tasu’a ‘Asyura (tentunya di samping Senin-Kamis, shaum Dawud, dan shaum tengah bulan yang berlaku di sepanjang bulan selain Ramadlan). Tasu’a artinya sembilan, sementara ‘asyura artinya sepuluh. Maksudnya, shaum pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Untuk tahun 2013 ini bertepatan dengan tanggal 13-14 November 2013. Pahala shaum ini akan menghapus dosa setahun yang lalu. Sabda Nabi saw: Shaum ‘Asyura yang diniatkan mengharap ridla Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu (Shahih Muslim kitab as-shiyam no. 2803).
Meski dalam hadits di atas hanya disebutkan ‘asyura (10 Muharram), tetapi tasu’a (9 Muharram) pun termasuk, karena pengamalannya satu paket. al-Hakam ibn al-A'raj pernah bertanya kepada Ibn 'Abbas: "Beritahukanlah kepadaku tentang shaum 'Asyura." Ibn 'Abbas menjawab: "Jika kamu melihat hilal Muharram, maka bersiaplah, dan bershaumlah di waktu shubuh hari kesembilan." Aku bertanya: "Seperti itukah Rasulullah saw melaksanakan shaumnya?" Ibn 'Abbas menjawab: "Ya." (Shahih Muslim bab ayyi yaum yushamu fi 'asyura no. 2720).
Petunjuk amaliah shaum Tasu'a-'Asyura seperti diberitahukan Ibn 'Abbas ini bukan berarti pernah dilaksanakan Rasul saw secara langsung, melainkan hanya diperintahkan dan dianjurkan, karena beliau saw terlebih dahulu wafat. Ibn 'Abbas dalam riwayat lain menjelaskan: Ketika Rasulullah saw shaum pada hari 'Asyura dan memerintahkan shaum tersebut, para shahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, hari 'Asyura itu hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani!?" Rasul saw menjawab: "Jika datang tahun depan, insya Allah kita akan shaum dari sejak hari ke-9 (tasu’a)." Kata Ibn 'Abbas: Belum juga tahun depan datang, Rasulullah saw sudah wafat terlebih dahulu (Shahih Muslim no. 2722).
Berdasarkan hadits ini maka para ulama mengategorikan shaum Tasu'a pada sunnah hammiyyah; sunnah yang baru ditekadkan. Artinya walau belum pernah dilaksanakan oleh Nabi saw, tapi karena sudah ditekadkan (hamm) dan kalau seandainya tidak wafat akan dilaksanakan, maka berkedudukan sebagai sunnah yang harus diteladani. Jadi jangan hanya tanggal 10-nya saja, tetapi juga dengan tanggal 9-nya. Kecuali jika ada halangan seperti sakit, boleh tanggal 9-nya saja, 10-nya saja, atau tidak dua-duanya. Dan kalau sengaja meninggalkan dua-duanya meski mampu, berarti itu orang sakit (sakit imannya).
Dalam Musnad Ahmad terdapat riwayat yang menegaskan agar shaum 'Asyura itu disertai shaum sehari sebelumnya (tanggal 9) atau sehari sesudahnya (tanggal 11) demi menyalahi orang Yahudi: Shaumlah pada hari 'Asyura, dan berbedalah dengan Yahudi. Shaumlah kalian sebelumnya satu hari atau sesudahnya satu hari. (Musnad Ahmad, musnad 'Abdillah ibn 'Abbas no. 2191). Akan tetapi menurut al-Hafizh al-Haitsami dalam kitabnya Majma'uz-Zawa`id, hadits ini dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad ibn Abi Laila yang fihi kalam; statusnya dipersoalkan (bab as-shaum qabla yaum 'Asyura wa ba'dahu). Atau dengan kata lain dla’if. Jadi yang sunnah hanya 9 dan 10 Muharram.
Wal-‘Llah a’lam

Antara Syi'ah dan "Asyura


Antara Syi’ah dan ‘Asyura

‘Asyura adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Bagi sekte Syi’ah, hari ini adalah hari raya yang harus diperingati dengan kesedihan yang didramatisir; tubuh dilukai secara sengaja, sambil menangis meronta-ronta, berteriak histeris, secara berjama’ah, atau minimalnya diperingati dengan hening sampai menangis pertanda sedih yang sangat mendalam. Itu menurut mereka sebagai bukti bahwa mereka mencintai Nabi saw dan keluarganya, dimana salah satu cucu Nabi saw, Husain ra., dibunuh dengan keji pada tanggal 10 Muharram 61 H/680 M di padang Karbala, Irak.

Syi’ah arti asalnya ‘kelompok’. Syi’ah menyatakan dirinya sebagai Syi’ah ‘Ali (kelompok pencinta ‘Ali) dan Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw). Di Indonesia, nama yang dijadikan identitasnya bukan Syi’ah, tetapi Jama’ah/Madzhab Ahlul-Bait, seperti IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) yang dipimpin oleh Jalaluddin Rakhmat dan berkantor pusat di Bandung, Kiara Condong.
Syi’ah menyatakan bahwa ‘Ali adalah satu-satunya khalifah dan imam pengganti Rasulullah saw. Hak khilafah untuk ‘Ali ini berlaku juga untuk keturunan-keturunannya. Kalaupun di antara mereka ada yang tidak menjadi khalifah maka itu disebabkan dizhalimi oleh pihak lain atau sikap menyembunyikan keyakinan dari para keturunan ‘Ali tersebut (al-Milal wa an-Nihal, 1 : 146). Konsekuensinya, khalifah Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman dinilai sebagai perampas hak khilafah ‘Ali ibn Abi Thalib. Tiga shahabat mulia tersebut dinilai sebagai orang-orang sesat dan kafir. Semua shahabat yang berbai’at kepada tiga khalifah tersebut juga termasuk sesat dan kafir. Semua kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman pun dinilai sesat dan kafir. Di sinilah aqidah sesat Syi’ah bermula.
Dari aqidah tersebut, konsekuensinya adalah al-Qur`an dan sunnah tidak dijadikan sumber ajaran Islam. Sebab al-Qur`an yang ada hari ini diriwayatkan secara mutawatir melalui shahabat. Para shahabat juga sumber hadits-hadits Nabi saw. Ketika shahabat dinilai kafir, otomatis mereka menolak al-Qur`an dan Sunnah. Maka dibuatlah al-Qur`an dan sunnah versi Syi’ah yang dibuat-buat alias palsu. Dari sini maka perbedaan antara Islam dan Syi’ah pun bukan lagi dalam persoalan ajaran cabang, tetapi sudah pada ajaran pokok, yakni dasar-dasar aqidah dan ibadah.
Al-Kulaini, seorang imam hadits versi Syi’ah, meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai shahih di kalangan Syi’ah, sebagai berikut:
اِرْتَدَّ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ r إِلاَّ ثَلاَثَةً وَهُمُ الْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْ ذَرٍّ
Orang-orang murtad sesudah Nabi saw (wafat) kecuali tiga orang yaitu Miqdad, Salman dan Abu Dzar (Al-Ushul minal-Kafi no. 341).
Hadits tersebut jelas merupakan hadits maudlu’ (palsu). Sebab shahabat faktanya dijamin oleh Nabi saw akan selalu berada dalam kebenaran. Ketika Nabi saw menyebutkan bahwa sepeninggalnya akan banyak aliran sesat, Nabi saw memberi wasiat kepada kaum muslimin untuk konsisten mengikutinya dan para shahabatnya agar tidak tersesat:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Ikuti apa yang aku dan para shahabatku ada padanya (Sunan at-Tirmidzi bab ma jaa fi iftiraqi hadzihi al-ummah no. 2565).
Al-Qur`an juga sudah memberikan jaminan bahwa shahabat, meski bukan manusia suci yang bebas dari dosa, tidak mungkin mereka melegalkan sebuah kemaksiatan dan kemunkaran (QS. at-Taubah [9] : 100, 117, Al-Hasyr [59] : 8-9, Ali ‘Imran [3] : 110). Jika benar khalifah yang seharusnya ‘Ali, tidak mungkin shahabat semuanya membenarkan kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Tidak mungkin juga ketiga shahabat tersebut melanggar wasiat Nabi saw untuk menjadikan ‘Ali khalifah dan merampasnya, jika memang benar wasiat itu ada. Tidak mungkin juga ‘Ali dan Ahlul-Bait menyembunyikan keyakinannya dan berdiam diri ketika ia tidak diangkat jadi khalifah sepeninggal Nabi saw wafat, jika memang benar ajaran itu ada. Semua ini adalah kedustaan yang dibuat-buat dengan mengatasnamakan ‘Ali ra dan Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw).
Nabi saw sudah bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Dengan sendirinya Syi’ah kafir karena mereka menilai umat Islam (yang biasa disebut Sunni/Ahlus-Sunnah) sebagai kafir. Ketika faktanya umat Islam yang ada hari ini dan yang mendasarkan ajarannya kepada al-Qur`an dan sunnah benar sebagai muslim, maka otomatis vonis kafir dari Syi’ah tersebut kembali kepada Syi’ah. Jadi Syi’ah kafir bukan karena kita menilainya kafir, tetapi karena aqidah mereka sendiri yang mengkafirkan shahabat dan umat Islam. Jadinya, merekalah yang kafir.
‘Asyura itu sendiri menurut Syi’ah adalah salah satu bentuk kekejian umat Islam kepada cucu Nabi saw, Husain ra., yang telah menyebabkannya dibantai di Karbala, Irak pada 10 Muharram 61 H/680 M. Pembantaian tersebut bagi Syi’ah merupakan simbol dari ridlanya umat Islam yang terkesan membiarkan pembantaian tersebut, sehingga mereka pun merayakannya dengan kesedihan. Padahal jika seperti itu kesimpulannya, berarti mereka (Syi’ah) pun sudah terlibat dalam “pembiaran” tersebut. Sebab fakta sejarah yang ditulis oleh para ulama yang otoritatif dan didasarkan pada sumber-sumber yang terpercaya, seperti Tarikh at-Thabari dan al-Bidayah wan-Nihayah Ibn Katsir, membuktikan hal itu. Pada tahun 61 H yang berkuasa adalah Khalifah Yazid putra Mu’awiyah. Salah seorang panglimanya, al-Hajjaj, dikenal dengan kekejamannya yang sering tanpa ragu membunuh siapapun yang dianggap lawan politiknya. Husain ra, dalam hal ini termasuk salah satu lawan politiknya. Husain ra yang tinggal di Madinah saat itu mendapatkan surat ajakan dari orang Irak yang mengaku sebagai pendukung keluarga Nabi saw untuk datang ke Irak dan dibai’at oleh mereka. Shahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas sudah mengingatkan Husain agar jangan terbujuk ajakan orang Irak yang dikenal banyak pembohongnya. Terlebih berontak kepada pemimpin (khuruj) jelas dilarang oleh agama. Terlebih lagi al-Hajjaj sudah dikenal kekejamannya. Akan tetapi Husain ra tetap pada pendiriannya, ia akan berangkat ke Irak dan bergabung dengan kelompok yang dahulu menjadi loyalis ayahnya, ‘Ali ibn Abi Thalib. Lalu terjadilah peristiwa yang tidak dikehendaki oleh siapapun. Husan ibn ‘Ali dan bahkan keluarga yang dibawanya dibantai oleh sang panglima bengis, al-Hajjaj. Umat Islam bukan berarti membiarkan, tetapi situasi saat itu menuntut umat Islam untuk menahan diri, dan ini sudah sesuai dengan yang diajarkan Nabi saw (rujuk hadits-hadits tentang fitnah di akhir zaman dalam AR-RISALAH jilid 2).
Umat Islam di seluruh penjuru dunia sangat tahu bahwa Husain memang syahid dibantai oleh pasukan yang tidak bermoral. Ia adalah salah satu syahid di antara syahid-syahid lainnya seperti Umar ibn Khaththab, 'Utsman ibn 'Affan, 'Ali ibn Abi Thalib, syuhada Badar, dan ribuan syuhada lainnya dari kalangan shahabat dan generasi salaf. Tetapi itu tidak perlu dengan mengunggulkan Husain dibanding lainnya, khususnya dari khalifah-khalifah dan syuhada perang Badar yang sudah dijamin masuk surga oleh Nabi saw. Cukup diingat dengan sewajarnya saja bahwa Husain dizhalimi oleh pasukan yang zhalim, disebabkan tertipu oleh orang-orang yang mengklaim sebagai pencinta keluarga Nabi saw. Mereka saat itu memaksa Husain datang ke Irak untuk dibai'at jadi pemimpin dan dibela, tetapi ternyata dibiarkan begitu saja terbantai di Karbala. Allah swt pasti akan mengganjar para syuhada dengan ganjaran setimpal, juga para penipu yang mengklaim pencinta keluarga Nabi dengan ganjaran yang setimpal pula.
Wal-‘Llahu a’lam