Jumat, 15 Maret 2013

Makalah ''Budaya Sastra dalam Perpolitikan Indonesia


BUDAYA SASTRA DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA

Tugas Makalah Bahasa Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

Dosen Pengampu :

Dr. Mohammad Siddiq

 

 

 

Oleh :

JAHIDIN

Mahasiswa Fakultas Agama Islam

Jurusan Syari’ah (Hukum Islam)

 

                                                        

 

 

UNIVERSITAS IBNU CHALDUN – JAKARTA

2012

DAFTAR ISI

 

 

DAFTAR ISI

BAB I       PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah ………………………………………  2

B.     Perumusan Masalah …………………………………………...  3

C.     Metodelogi Penelitian …………………………………………  3

D.    Sistematika Pembahasan ………………………………………  3

BAB II      ANALISA TEORITIS TENTANG BUDAYA SASTRA

                 DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA

A.    Definisi dan Ruang Lingkup Budaya dan Sastra ……………..  4

B.     Definisi dan Ruang Lingkup Politik …………………………..  5

BAB III    ANALISA NORMATIF TENTANG BUDAYA SASTRA

                 DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA

A.    Kondisi Sistem Perpolitikan Indonesia ………………………..  7

B.     Pengaruh Budaya Sastra dalam Perpolitikan Indonesia ……… 10

C.     Politikus Sukses yang Berjiwa Sastra ………………………… 11

D.    Tantangan dan Hambatan Budaya Sastra dalam                                            Perpolitikan Indonesia ……………………………………….. 14

BAB IV    PENUTUP

A.    Kesimpulan ……………………………………………………..16

B.     Saran-saran ……………………………………………………..16

DAFTAR PUSTAKA

 

 

                                           

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Dalam masyarakat membangun, bahasa etika membuat tingkah laku yang dapat menjamin setiap individu dan masyarakat sehingga tidak terjerumus ke dalam kekeliruan dan penyimpangan, dan dalam saat yang sama memperlancar laju roda pembangunan. Bahasa ini mampu pula meluruskan kekeliruan anggota keluarga sendiri, sebelum diluruskan orang lain karena kita merasakan perasaannya. Ia juga yang mampu mengantisipasi setiap perubahan sehingga tidak menjadi hambatan bagi tercapainya kesejahtraan dan ketentraman. Begitu pentingnya bahasa etika di kehidupan Manusia ini. Berbahasa bukanlah kegiatan manusia yang berdiri sendiri sebab dalam kegiatan itu tersangkut pula kegiatan lainnya. Penggunaan bahasa dalam sastra menunjukan salah satu fungsi bahasa itu, yaitu membangkitkan reaksi tertentu orang yang mendengar.

Melihat dalam kenyataan yang ada, terutama dalam dunia perpolitikan di Negara Indonesia kita ini, kita sangat kekurangan akan pemimpin-pemimpin yang menjunjung tinggi nilai bahasa etika, terlebih lagi mereka merupakan sosok yang mewakili kita di pemerintahan yang harusnya menggambarkan nilai-nilai etika dan estetika yang baik bagi masyarakatnya. Menjadi contoh figur serta teladan bagi mereka yang diwakilinya.

      Ketika masyarakat bingung mencurahkan aspirasi dan suaranya di pemerintahan, maka timbulah pertanyaan : Siapakah yang berhak menjadi wakil kita di pemerintahan ? demikian juga ketika wakil yang kita pilih tidak menggambarkan dan tidak menjadi figur teladan bagi masyarakat, maka pertanyaanpun muncul : Siapakah yang harus bertanggung jawab akan hal tersebut ? maka oleh karena begitu pentingnya akan permasalahan tersebut diatas, penulis bermaksud untuk menyikapinya kedalam sebuah karya tulis ilmiah dengan diberi judul “BUDAYA SASTRA DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA” yang di harapkan dengan adanya karya tulis ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan Bangsa Indonesia khususnya. Serta menjadi kontribusi bagi kemajuan khazanah ilmu pengetahuan.

B.     Perumusan Masalah

      Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penyusun dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut :

1.      Apakah yang dimaksud dengan budaya sastra ?

2.      Apakah yang dimaksud dengan politik ?

3.      Bagaimana pengaruh budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia ?

4.      Apa tantangan dan hambatan budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia ?

C.    Metodelogi Penelitian

Paper adalah suatu karya tulis yang didukung oleh beberapa referensi dan data-data yang kuat serta dapat dipercaya. Maka dari itu penulis mengadakan penelitian dengan metode normatif. Dikatakan Normatif karena dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan penulis mengguinakan norma-norma berfikir (logika).

D.    Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan tidak melebar dan supaya tersusun, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut :

BAB I              Terdiri dari pendahuluan, yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, metodelogi penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II             Landasan teoritis tentang budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, yang meliputi : pengertian budaya dan sastra, ruang lingkup budaya dan sastra, pengertian politik, ruang lingkup politik, dan sejarah perpolitikan Indonesia.

BAB III            Merupakan analisia normatif tentang budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, yang meliputi : Kondisi Sistem perpolitikan Indonesia dari masa ke masa, pengaruh budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, beberapa biografi politisi yang memiliki jiwa sastra, serta  tantangan dan hambatan budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia.

BAB IV            Penutup yang berisikan ; kesimpulan dan saran-saran.

 

BAB II

ANALISA TEORITIS TENTANG BUDAYA SASTRA DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA

 

A.    Definisi dan Ruang Lingkup Budaya dan Sastra

1.      Definisi Budaya dan Sastra

Budaya secara sempit dapat dipahami sebagai seni, dan dapat pula dipahami secara luas sehingga mencakup segala aktivitas dan budi daya manusia serta seluruh pengetahuandan pengalamannya yang menjadi pedoman tingkah laku manusia”.[1] “Budaya dalam bahasa inggris adalah kulture, sama artinya bangsa yang berbudaya  adalah kultur volk”[2]. Budaya (culture) dan peradaban (civilization) adalah semakna. Kedua kata itu mengandung arti yang sama. Perbedaannya hanya pada istilahnya saja. ada pula yang berpendapat seperti A.J. Wensink, bahwa kebudayaan dan peradaban bukan saja dari istilahnya yang berbeda tetapi artinya juga tidak sama. A.J. Wensink dalam bukunya Genese et evolution de la culture musulmane mengatakan bahwa kebudayaan adalah perpaduan dari cipta, karsa dan rasa. Ia berangkat dari akal batin manusia. Akal batin inilah yang mendorong lahirnya pikiran-pikiran manusia untuk menciptakan kesenian, kesusastraan dan lain-lain yang memenuhi hasrat manusia akan keindahan dan kebahagiaan hidup[3].

Sastra dalam bahasa arab adalah ادب (adab) yang brerarti tatakrama atau sopan santun, dalam kalimat lain kita mengenal adabul arabiyyah maksudnya adalah ilmu sastra arab. Sastra dapat diartikan dengan tata bahasa, ilmu sastra yakni ilmu mengenai ketata bahasaan. Tata bahasa mempelajari hubungan berbagai-bagai jenis kata yang menjadi inti dalam bahasa dan berusaha menemukan hubungan-hubungannya dengan pikiran yang dinyatakannya. Tata bahasa membicarakan soal-soal seperti misalnya syarat-syarat apa yang harus dipenuhi bahasa yang kita pergunakan itu agar ia betul.[4]

Kata sastra dipergunakan dalam berbagai pengertian, seperti kultur, buku, tulisan, dan seni sastra. Sastra sebagai seni sastra, adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Dalam pengembangan bahasa tentulah peranan bahasa tidaklah kecil, baik yang berkenaan dengan pengembangan struktur bahasa maupun yang berkenaan dengan ekologinya. Penggunaan bahasa sebagai medium sastra sebagian besar tergantung pada perpaduan antara aspek sosial dan perseorangan dalam tuturan pengarang(pelaku), dengan tujuan membangkitkan reaksi tertentu pada pendengar atau pembaca, yaitu dengan memilih bentuk-bentuk(kata-kata) yang mempunyai denotasi, konotasi, daya sintetis dan magis, bahasa emotif yang berbeda dengan bahasa ilmiah[5].

2.      Ruang Lingkup Budaya dan Sastra

Dalam masyarakat membangun, bahasa etika membuat tingkah laku yang dapat menjamin setiap individu dan masyarakat sehingga tidak terjerumus ke dalam kekeliruan dan penyimpangan, dan dalam saat yang sama memperlancar laju roda pembangunan. Bahasa ini mampu pula meluruskan kekeliruan anggota keluarga sendiri, sebelum diluruskan orang lain karena kita merasakan perasaannya. Ia juga yang mampu mengantisipasi setiap perubahan sehingga tidak menjadi hambatan bagi tercapainya kesejahtraan dan ketentraman. Dasar dari segala etika adalah mengorbankan kepentingan diri demi kepentingan orang lain. Namun harus diingat bahwa bahasa etika sebagaimana setiap bahasa walaupun dapat mengalami perkembangan, ia mempunyai kaidah-kaidah yang ketat. Bahasa etika tidak setuju apabila hanya dituntut dari si lemah ketika memperjuangkan haknya, tetapi tidak digubris oleh si kuat dalam melaksanakan kewajibannya. Kalau begini keadaannya, bahasa ini tidak digunakan dengan baik dan benar.[6]

Pembicaraan dalam bahasa Al-Quran dinamai kalam. Dari akar kata yang sama dibentuk pula kata yang berarti luka agar menjadi peringatan bahwa kalam juga dapat melukai. Bahkan luka yang diakibatkan oleh lidah bias lebih parah daripada yang diakibatkan oleh pisau.[7]

Ini semua seharusnya mengantarkan seseorang untuk selalu berhati-hati, memikirkan, dan merenangkan apa yang akan diucapkannya : anda menawan apa yang akan anda ucapkan, tetapi begitu terucapkan maka andalah yang menjadi tawanannya. Dari rumusan-rumusan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ruang lingkup bahasan budaya dan sastra sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan manusia.

B.     Definisi dan Ruang Lingkup Politik

1.      Definisi Politik

Menurut kamus ilmiah popular karya Indrawan WS, Politik adalah segala yang berkenaan dengan cara-cara dan kebijaksanaan dalam mengatur Negara dan masyarakat bangsa. Adapun politis yaitu segala hal yang bercorak(bersifat) politik. Kemudian orang yang bergerak dalam bidang politik dinamakan politikus.[8]

“Dunia itu suatu kebun, pagarnya Negara. Negara itu suatu kekuasaan, yang hidup dengan kekuasaan itu aturan yang tetap(sunnah). Aturan yang tetap itu, ialah politik(siasah), yang dijalankan oleh raja. Raja itu peraturan, yang disokong oleh tentara. Tentara itu pembantu-pembantu, yang ditanggung oleh harta. Harta itu rezeki, yang dikumpulkan oleh rakyat. Rakyat itu budak-budak, yang dipelihara oleh keadilan. Keadilan itu yang disukai. Dengan keadilan tegaklah dunia. Dunia itu suatu kebun”[9]

2.      Sejarah Perpolitikan Indonesia

Bangsa Indonesia, seperti halnya bangsa lain, tidak melahirkan banyak negarawan sekalipun memproduksi banyak politikus. Menurut sebuah kasus, negarawan adalah seorang yang memanfaatkan kepemimpinan politiknya secara arif dan bijak tanpa dibarengi kesetiaan sempit.
Sebuah teori kepemimpinan mengatakan negarawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan moral yang jernih, konsistensi, persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya dilihat dari masa-masa berikut ini: Masa prakolonial, Masa Kolonial (penjajahan), Masa Demokrasi Liberal, Masa Demokrasi terpimpin, Masa Demokrasi Pancasila dan Masa Reformasi.[10]

BAB III

ANALISA NORMATIF TENTANG BUDAYA SASTRA DALAM PERPOLITIKAN INDONESIA

A.    Kondisi Sistem Perpolitikan Indonesia

1.      Kondisi Sistem Perpolitikan Indonesia dari Masa ke Masa

Kondisi Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.[11]
Dalam melakukan analisis sistem tidak bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan.
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1.      Masa prakolonial (Kerajaan)
a.       Penyaluran tuntutan rendah dan terpenuhi
b.      Pemeliharaan nilai disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
c.       Kapabilitas SDA melimpah
d.      Integrasi vertikal atas bawah
e.       Integrasi horizontal nampak hanya sesama penguasa kerajaan
f.       Gaya politik - kerajaan
g.      Kepemimpinan raja, pangeran dan keluarga kerajaan
h.      Partisipasi massa sangat rendah
i.        Keterlibatan militer sangat kuat karena berkaitan dengan perang
j.        Aparat negara loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
k.      Stabilitas stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2.      Masa kolonial (penjajahan)
a.       Penyaluran tuntutan rendah dan tidak terpenuhi
b.      Pemeliharaan nilai sering terjadi pelanggaran ham
c.       Kapabilitas melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
d.      Integrasi vertikal atas bawah tidak harmonis
e.       Integrasi horizontal harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
f.       Gaya politik penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
g.      Kepemimpinan dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
h.      Partisipasi massa sangat rendah bahkan tidak ada
i.        Keterlibatan militer sangat besar
j.        Aparat negara loyal kepada penjajah
k.      Stabilitas stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3.      Masa Demokrasi Liberal
a.       Penyaluran tuntutan tinggi tapi sistem belum memadani
b.      Pemeliharaan nilai penghargaan HAM tinggi
c.       Kapabilitas baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
d.      Integrasi vertikal dua arah, atas bawah dan bawah atas
e.       Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
f.       Gaya politik - ideologis
g.      Kepemimpinan angkatan sumpah pemuda tahun 1928
h.      Partisipasi massa sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
i.        Keterlibatan militer militer dikuasai oleh sipil
j.        Aparat negara loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
k.      Stabilitas - instabilitas
4.      Masa Demokrasi terpimpin
a.       Penyaluran tuntutan tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front
b.      Pemeliharaan nilai Penghormatan HAM rendah
c.       Kapabilitas abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
d.      Integrasi vertikal atas bawah
e.       Integrasi horizontal berperan solidarity makers,
f.       Gaya politik ideolog, nasakom
g.      Kepemimpinan tokoh kharismatik dan paternalistik
h.      Partisipasi massa - dibatasi
i.        Keterlibatan militer militer masuk ke pemerintahan
j.        Aparat negara loyal kepada negara
k.      Stabilitas - stabil
5.      Masa Demokrasi Pancasila
a.       Penyaluran tuntutan awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
b.      Pemeliharaan nilai terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
c.       Kapabilitas sistem terbuka
d.      Integrasi vertikal atas bawah
e.       Integrasi horizontal - nampak
f.       Gaya politik intelek, pragmatik, konsep pembangunan
g.      Kepemimpinan teknokrat dan ABRI
h.      Partisipasi massa, awalnya bebas kemudian lebih banyak dibatasi
i.        Keterlibatan militer merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
j.        Aparat negara loyal kepada pemerintah (Golkar)
k.      Stabilitas stabil
6.      Masa Reformasi
a.       Penyaluran tuntutan tinggi dan terpenuhi
b.      Pemeliharaan nilai Penghormatan HAM tinggi
c.       Kapabilitas disesuaikan dengan Otonomi daerah
d.      Integrasi vertikal dua arah, atas bawah dan bawah atas
e.       Integrasi horizontal nampak, muncul kebebasan (euforia)
f.       Gaya politik - pragmatik
g.      Kepemimpinan sipil, purnawiranan, politisi
h.      Partisipasi massa - tinggi
i.        Keterlibatan militer - dibatasi
j.        Aparat negara harus loyal kepada negara bukan pemerintah
k.      Stabilitas - instabil

B.     Pengaruh Budaya Sastra dalam Perpolitikan Indonesia

Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.[12]
Pengaruh Budaya Sastra ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Terdapat 4 kapabilitas yang menjadi penilaian perubahan akibat pengaruh Budaya Sastra dalam sistem politik Indonesia :
1.      Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
2.      Kapabilitas Simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
3.      Kapabilitas Responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
4.      Kapabilitas dalam Negeri dan Internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi dalam melihat pengaruh budaya sastra dalam perpolitikan Indonesia, yaitu pendekatan pembangunan[13], yang terdiri dari 2 hal:
1.      Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukan secara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
2.      Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik.

C.    Politikus Sukses yang Berjiwa Sastra

1.      Muhammad Natsir

Muhammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Sumatra Barat tanggal 17 Juli 1908 dari seorang pegawai pemerintahan.[14] Natsir nama pendeknya adalah salah satu anggota dari partai Masyumi yang berdiri pada tanggal 7 Nopember 1945 di Yogyakarta. Yang semenjak itu partai Masyumi sebagai Organisasi perjuangan bagi umat Islam Indonesia dilapangan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pertahanan, dan diplomasi.[15]

Indonesia sekarang seakan-akan hidup di sebuah lingkaran setan yang tak terputus: regenerasi kepemim­pinan terjadi, tapi birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebih baik, terlalu jauh dari jangkauan. Natsir seolah-olah wakil sosok yang berada di luar lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil, bersahaja.
Pada tanggal 3 April 1950, Muhammad Natsir menyampaikan pidatonya yang bersejarah pidato itu ditutup dengan menyampaikan suatu pernyataan politik yang diploporinya sendiri dan disokong oleh sebelas ketua-ketua fraksi dari beberapa aliran politik. Tentang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang sekarang sidang tersebut dikenal dengan Mosi Integral Natsir.[16]
Dipa Nusantara Aidit, Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia, adalah musuh ideologis nomor satu Mohammad Natsir. Aidit memperjuangkan tegaknya komunisme di Indonesia. Natsir sebaliknya. Tokoh Masyumi itu menginginkan negara dijalankan di atas nilai-nilai Islami. Pertentangan ini membuat keduanya sering berdebat keras di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Tapi, di luar sidang, keduanya bersahabat.
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang­an Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.

“Kalaupun besar, tidak akan melanda, kalaupun tinggi, malah akan melindungi”.[17] Mohammad Natsir menarik karena ia santun, bersih, konsisten, toleran, tapi teguh berpendirian. Satu teladan yang jarang.

2.      Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah)

Kota Melaka tinggallah sayang

Beta nak balik ke pulau perca

Walau terpisah engkau sekarang

Lambat laun kembali pula           

Walau luas watan terbentang

Danau maninjau tergenang jua[18]

      Sepenggal karya sastra Buya Hamka mengenai tempat kelahirannya.    

      Hamka atau Buya Hamka selain seorang Ulama, sastrawan dan pujangga dia juga aktif di kancah politik, Hamka terpilih menjadi anggota  Konstituante. Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum  Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan  kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya,  Akan tetapi Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Hamka juga merupakan seorang penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah  seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. ia juga menjadi editor majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Barat seperti Arnold Toynbee dan Pierre Loti.
      Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain. Hamka menulis buku romannya yang pertama dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk, sejarah, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.

3.      Amin Rais

      Amien Rais lahir di Solo, 26 April 1944, dari sebuah keluarga yang sangat taat dalam menjalankan agamanya. Inilah Amien Rais mulai menyadari kekuatan ke­bersamaan dan makna kepemimpinan. Ketika menjadi mahasiswa, ia termasuk salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah [IMM]. Ia juga pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah di­percaya untuk mendu­duki jabatan sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam [LDMI], HMI Yogyakarta.
      Di samping kegandrungannya berorganisasi, Amien Rais juga sudah mulai aktif menulis artikel sejak belia. Oleh tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung bersama-sama dengan Harian Kami di Jakarta, koran mahasiswa yang legendaris di awal Orde Baru, Amien pernah di­anugerahi Zainal Zakse Award.”
      Dalam perpolitikan di Indonesia, Amien Rais ikut andil besar juga. Ia pernah menjabat sebagai ketua MPR RI ketika di akhir masa rezim Soeharto atau Orde Baru. Beliaulah yang mencetuskan peralihan system perpolitikan di Negara Indonesia ini, yang pada waktu itu dikenal dengan peralihan dari syistem perpolitikan Demokrasi Pancasila menuju system Reformasi, dengan dimotori dari kalangan aktifis mahasiswa yang menduduki gedung DPR-MPR RI pada waktu itu.[19]

D.    Tantangan dan Hambatan Budaya Sastra dalam Perpolitikan Indonesia

Tantangan dan Hambatan Budaya Sastra dalam Perpolitikan Indonesia, berawal dari krisis moral, dengan arti bahwa krisis moral ini telah menimbulkan ketegangan global antar masyarakat manusia, sesuatu yang akhirnya menghilangkan rasa aman dalam diri umat manusia. Krisis moral ini selanjutnya menghilangkan keseimbangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sesuatu yang dengan sendirinya mengancam kelangsungan peradaban umat manusia.[20]

Krisis moral ini menurut Muhammad Anis Matta dalam karya kecilnya Membentuk Karakter Cara Islam adalah di sebabkan oleh beberapa faktor :

1.      Terjadinya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang menyebabkan paradoks  antar nilai.

2.      Hilangnya model-model kepribadian yang integral; yang memadukan keshalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, kekayaan dengan kedermawanan, kekuasaan dengan keadilan, kecerdasan dengan kejujuran, dan seterusnya.

3.      Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral

4.      Lemahnya peranan lembaga sosial yang menjadi basis pendidikan moral.

Penyebab pokoknya menurut Sayyid Qutb dalam karya besarnya, Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dasar-dasar sistem ekonomi sosial yang diterjemahkan oleh Muhammad Abbas Aula, menyebutkan bahwa penyebab pokoknya adalah kehampaan jiwa manusia yang tersiksa, tersesat, dan dirundung malang oleh segala kemewahan material yang dimiliki, jiwa yang sangat dahaga dengan bekal rohani, iman, ketentraman dan kedamaian pada Allah SWT.[21]

Menurut Abdullah Gymnastiar dalam bukunya Hidup Itu Nikmat, Cara Cerdas Menggapai Ketenangan dan Kebahagiaan Hakiki menyebutkan bahwa “Kriteria Pemimpin(Politikus) itu harus memiliki unsur-unsur yang disingkat dengan 5T ABC, yaitu : Teladan, Telaten, Tawadhu, Tanggung Jawab, Teguh Pendirian (Istiqamah), dan ABC adalah: Adil, Bijaksana dan memiliki rasa Cinta.[22] Fazlur Rahman menegaskan dalam Bukunya Islam Modern, Tantangan Pembaruan Islam  bila harapan ini kita hadapkan kepada kenyataan, untuk menumbuhkan suasana segar bagi pemikiran yang hidup, kreatif dan tuntas dalam suasana persaudaraan dan solidaritas yang mantap. Maka kita pada waktu ini masih perlu melatih diri untuk dewasa secara intelektual dan emosional.[23]

      Menurut Yus Rusyana dalam karyanya Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan[24] menjelaskan bahwa faktor masalah dalam pembudayaan bahasa dan sastra di masyarakat diantaranya :

1.      Masalah individu dalam hal ini yaitu masyarakat itu sendiri sebagai pelaku bahasa(sastra)

2.      Masalah pendidikan bahasa(sastra)

3.      Masalah lingkungan

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Ternyata bahasa etika sangat penting dalam kehidupan manusia ini, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lainnya, stiap hari bahkan setiap jam dan waktu manusia menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi, untuk menyampaikan apa yang ada di benak pikirannya.

Dengan tata bahasa, serta menghubungkan berbagai-bagai jenis kata yang menjadi inti dalam bahasa dan berusaha menemukan hubungan-hubungannya dengan pikiran yang dinyatakannya sehingga dapat mudah di pahami dengan baik dan dapat di terima oleh teman bicaranya, yang kemudian terjadilah feedback dalam proses komunikasi.

B.     Saran-saran

      Tak ada gading yang tak retak, ungkapan yang pas untuk karya tulis ini. Penulis menyadari akan kekurangan karya tulis ini, penulis berharap akan kritikan dan saran saudara pembaca untuk penyusunan karya tulis berikutnya. Yaitu kritikan yang bertujuan untuk membangun serta saran-saran atas kekurangan karya tulis ini. Penulis ucapkan terima kasih atas kritik dan sarannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                           

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Djamil,Ahmad dkk. Sejarah dan Kebudayaan Islam-Jilid 3. CV. Toha Putra. Semarang. 1984
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makasar, Sejarah Perkembangan Perpolitikan Indonesia Makalah tahun 2011
Fatoni, Uwes. Sistem Politik Indonesia. Makalah Materi Perkuliahan. Tanggal 28 Maret 2006
Gaffas, Badrut Tamam. Jalan Istiqamah sang Legenda Prof Dr Hamka, Ulama Pejuang Politisi Sejati dan Pujangga Terkemuka.
Gymnastiar, Abdullah. Hidup itu Nikmat, Cara Cerdas Menggapai Ketenangan & Kebahagiaan Hakiki. Grafindo. Jakarta 2005
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Terjem Ismail Yakub. CV. Faizan. Jakarta. 1982
Matta, Muhammad Anis. Membentuk Karakter Cara Islam. Al-I’tishom Cahaya Umat. Jakarta. 2003
Mehra,Partap Sing dkk. Pengantar Logika Tradisional. Bina Cipta. Bandung. 1964
Puar,Yusuf Abdullah. Muhammad Natsir 70 tahun kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan. Pustaka Antara. Jakarta. 1978
Rahman, Fazlur. Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam. Shalahuddin Press. Yogyakarta. 1987
Rusyana Yus, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. CV. Diponegoro Bandung. 1984
Shiddiqi, Nourouzzaman dkk. Etika Pembangunan dalam Pemikiran Islam di Indonesia. CV. Rajawali. Jakarta 1986
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan. Mizan. Bandung. 1998
Syaukani,Ahmad. Perkembangan Pemikiran Modern di dunia Islam. Pustaka Setia.Bandung. 1997
WS. Indrawan, Kamus Ilmiah Populer. Lintas Media. Jombang. 1999
Qutb, Sayid. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Terjem Muhammad Abbas Aula. Litera AntarNusa. Jakarta. 1994


[1] Quraish Shihab, Lentera Hati (Bandung : Mizan, 1998) hal 369
[2] Indrawan WS, Kamus Ilmiah Populer (Jombang : Lintas Media) hal 56
[3] Nourouzzaman Shiddiqi dkk, Etika Pembangunan dalam Pemikiran Islam Indonesia (Jakarta : Rajawali, 1986) hal 172
[4] Partap Sing Mehra,Pengantar Logika Tradisional (Bandung : Bina Cipta,1964) hal. 7
[5] Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan(Bandung:Diponegoro,1984) hal  299
[6] Quraish Shihab, op.cit. hal 291
[7] Ibid. hal 344
[8] Indrawan WS. Op.cit. hal 213
[9] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta : Faizan, 1982), hal 82-83
[10] Uwes Fatoni. Sistem Politik Indonesia. Makalah Materi Perkuliahan. Tanggal 28 Maret 
[11]Ibid. hal 3

[12]Ibid. hal 1
[13] Ibid. hal 2
[14]Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam (Bandung: Pustaka Setia,1997) hal 125
[15] A. Djamil, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Semarang : Toha Putra, 1984) hal 54
[16] Yusuf Abdullah Puar, Muhammad Natsir, Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan ( Jakarta : Pustaka Antara, 1978) hal 97
[17] Ibid. hal 202
[18] Badrut Tamam Gaffas. Jalan Istiqamah sang Legenda Prof Dr Hamka, Ulama Pejuang Politisi Sejati dan Pujangga Terkemuka. Hal 1

[19]Makalah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makasar  Sejarah Perkembangan Perpolitikan Indonesia. tahun 2011
[20] Muhammad Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam (Jakarta : Al-I’tishom, 2003) hal 6
[21]Sayid Qutb, Dasar-dasar system Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir fi Zilalil Qur’an (Bogor:LiteraAntarNusa,1994)hal 54
[22]Abdullah Gymnastiar, Hidup itu Indah (Jakarta : Grafindo, 2005) hal 147-148
[23] Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam (Yogyakarta:Shalahudin,1987) hal2
[24] Yus Rusyana, op.cit. hal 227-228