Selasa, 31 Januari 2012

Ilmu Faraidh,,,Menghitung Pembagian Waris

Definisi Ilmu Faraid

Faraid adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna sesuatu yang diwajibkan, atau pembagian yang telah ditentukan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan dan tata cara pembagian harta warisan untuk setiap ahli waris berdasarkan syariat Islam.
 

Keutamaan Belajar Ilmu Faraid

Ilmu faraid merupakan salah satu disiplin ilmu di dalam Islam yang sangat utama untuk dipelajari. Dengan menguasai ilmu faraid, maka Insya Allah kita dapat mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta warisan, sehingga orang yang mempelajarinya Insya Allah akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan pahala yang besar disisi Allah swt.
 
Silahkan dibaca dan perhatikan ayat-ayat mengenai waris di dalam Al-Qur’an, terutama ayat 11, 12 dan 176 pada surat an-Nisaa’. Allah swt sedemikian detail dalam menjelaskan bagian warisan untuk setiap ahli waris, yaitu dari seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, seperenam, dan seterusnya berikut dengan kondisi-kondisinya yang mungkin terjadi.
 
Di bawah ini adalah beberapa hadits Nabi saw. yang menjelaskan beberapa keutamaan dan anjuran untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraid:
 
-         Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid." (HR Ibnu Majah)
 
-         Ibnu Mas'ud r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka." (HR Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim)
 
-         Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku." (HR Ibnu Majah dan ad-Darquthni)
 
-         Dalam riwayat lain disebutkan, "Pelajarilah ilmu faraid, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku." (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)
 
Karena pentingnya ilmu faraid, para ulama sangat memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka seringkali menghabiskan sebagian waktu mereka untuk menelaah, mengajarkan, menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraid, serta mengarang beberapa buku tentang faraid. Mereka melakukan hal ini karena anjuran Rasulullah saw. diatas.
Umar bin Khattab telah berkata, "Pelajarilah ilmu faraid, karena ia sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian." Kemudian Amirul Mu'minin berkata lagi, "Jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu faraid, dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan." Kemudian Amirul Mu'minin berkata kembali, "Pelajarilah ilmu faraid, ilmu nahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an."
 
Ibnu Abbas ra. berkomentar tentang ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “...Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfaal - 73), menurut beliau makna ayat diatas adalah jika kita tidak melaksanakan pembagian harta waris sesuai yang diperintahkan Allah swt. kepada kita, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.
 
Abu Musa al-Asy’ari ra. berkata, "Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraid, adalah seperti mantel yang tidak bertudung kepala."
 
Demikianlah, ilmu faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid termasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.
 

Membagi Warisan Harus Berdasarkan Syariat  Islam

Maha Sempurna Allah yang telah menjadikan harta sebagai pokok kehidupan bagi manusia, sebagaimana yang telah difirmankan-Nya di dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. an-Nisaa’ – 5)
 
Demikianlah, Dia telah menetapkan harta sebagai pokok kehidupan bagi manusia, maka Dia telah menetapkan pula beberapa peraturan mutlak yang harus kita ikuti dalam mengatur harta yang telah diberikan-Nya tersebut, agar digunakan secara benar sesuai dengan ketentuan dan perintah-Nya. Salah satu ketetapan Allah mengenai pengaturan harta adalah mengenai tata cara pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang ketika telah wafat.
 
Dalam membagi warisan, kita harus membaginya secara adil berdasarkan syariat Islam yang telah disampaikan melalui Al-Qur’an, sunnah Rasul-Nya, serta ijma’ para ulama. Dia menjanjikan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai kepada para hamba-Nya, yang tunduk ikhlas dalam menjalankan ketentuan pembagian waris ini. Dia juga mengancam hamba-Nya yang menyalahi batasan-batasan yang telah ditentukan, baik dengan menambahkan, mengurangi, maupun mengharamkan ahli waris yang benar-benar berhak mewarisi dan memberikan bagian kepada ahli waris yang tidak berhak mewarisinya, dengan ancaman neraka dan siksa yang menghinakan.
 
Perhatikanlah, setelah menjelaskan hukum-hukum waris di dalam surat yang sama, Allah swt. berfirman di dalam ayat berikutnya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan." (Q.S. an-Nisaa' – 13,14).
 
Seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tentunya akan tunduk patuh dalam menjalankan ketetapan dari Allah, apapun resikonya. Mereka sangat yakin dan memahami firman Allah yang telah disampaikan-Nya di dalam Al-Qur’an, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. al-Ahzaab – 36)
 
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam membagi harta warisan ini. Jangan sampai orang yang berhak untuk mendapatkan hak waris menurut syariat Islam, menjadi tidak mendapatkan hak warisnya, dan sebaliknya malah orang yang tidak berhak menjadi mendapatkan harta waris. Tentunya kita tidak akan dapat membagi harta waris ini dengan adil berdasarkan syariat Islam, kecuali jika kita telah mengetahui ilmunya. Oleh karena itu, saya mengajak kepada pembaca semua, hendaknya masing-masing kita bersungguh-sungguh untuk belajar tata cara pembagian harta warisan ini.

Dalam membagikan harta warisan, terdapat dua langkah yang dapat dilakukan. Langkah pertama adalah membagikan terlebih dahulu harta waris tersebut kepada ahli waris yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara jelas, yaitu disebut juga sebagai ashhabul furudh. Kemudian sisanya diberikan kepada ahli waris lainnya, dimana mereka yang mendapatkan sisa harta waris ini disebut juga sebagai ashabah. Namun jika tidak ada satupun ashhabul furudh, maka ashabah ini akan mendapatkan seluruh harta waris yang ada. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa para ashhabul furudh akan mendapatkan harta waris secara fardh, yakni mendapatkan bagian waris secara tetap sebagaimana yang sudah Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an secara jelas.
 
Bagian yang telah ditentukan Al-Qur’an untuk ashhabul furudh ini ada enam macam, yaitu:
-         Setengah (1/2)
-         Seperempat (1/4)
-         Seperdelapan (1/8)
-         Dua per tiga (2/3)
-         Sepertiga (1/3)
-         Seperenam (1/6)
 

Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya dari golongan perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah:
 
-         Suami
-         Anak perempuan
-         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah
-         Saudara perempuan sekandung
-         Saudara perempuan seayah
 
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
 
1.      Seorang suami berhak untuk mendapatkan setengah harta warisan, dengan syarat apabila istrinya tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun dari bekas suaminya yang terdahulu. Selain anak, mencakup pula keturunan istri seterusnya yang tidak terselingi oleh perempuan, yakni  cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit laki-laki keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
2.      Anak perempuan kandung (bukan anak tiri ataupun anak angkat) mendapat bagian setengah harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
-         Anak perempuan itu adalah anak tunggal.
-         Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, baik yang berasal dari ibu anak perempuan tersebut maupun dari istri pewaris yang lain. Dengan kata lain anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki satu pun.
3.      Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian setengah, dengan tiga syarat:
-         Pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
-         Ia adalah cucu perempuan tunggal.
-         Ia tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni cucu laki-laki yang lain dari keturunan anak laki-laki, baik dari keturunan ayahnya maupun dari keturunan pamannya yang lain.
4.      Saudara perempuan sekandung akan mendapat bagian setengah harta warisan, dengan tiga syarat:
-         Ia tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung lainnya.
-         Ia hanya seorang diri, yakni tidak ada saudara perempuan sekandung lainnya.
-         Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya.
5.      Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian setengah dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
-         Ia tidak mempunyai saudara laki-laki seayah lainnya.
-         Ia hanya seorang diri, yakni tidak ada saudara perempuan seayah lainnya.
-         Pewaris tidak mempunyai saudara perempuan sekandung dan saudara laki-laki sekandung.
-         Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya.

Definisi Dzawil Arham

Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun/rahim, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna kerabat, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam.
 
Adapun yang dimaksud dengan dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, misalnya bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.
 

Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham

Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:
 
1.      Golongan pertama berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau ashabah yang mengambilnya, maka harta warisan dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslimin untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
2.      Golongan kedua berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun ashabah yang menerima harta pewaris. Mereka berpendapat bahwa dzawil arham lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan baitulmal, sebab dzawil arham memiliki kekerabatan dengan pewaris. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.

Landasan Dalil Golongan Pertama

1.      Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash dari Al-Qur'an atau as-Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil yang pasti dan kuat.
2.      Dari hadits yang diriwayatkan Said bin Manshur, disebutkan bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi, baik dari garis ayah maupun dari ibu, beliau saw. menjawab, "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun." Hadits ini di-tahqiq oleh Habib al-A'zhamiy, dengan mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Marasil-nya dari jalur Abdullah bin Salamah dari Abdul Aziz bin Muhammad, seperti tersebut juga dalam kitab karya Baihaqi (VI/212).” Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, dzawil arham yang lain pun demikian.
3.      Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, yang ada bersama anak laki-­laki dari saudara laki-laki sekandung, tidak berhak mendapatkan apa pun, hanya anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung yang men­dapatkan warisan. Begitu pula bibi dari pihak ayah, yang ada bersama paman dari pihak ayah, tidak dapat menerima warisan. Terlebih lagi jika bibi hanya seorang diri (tidak bersama paman), ia tidak bisa mendapatkan warisan.
4.      Dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar, baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para ashabahnya, bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Dengan demikian, baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan ashabahnya daripada para dzawil arham.

Landasan Dalil Golongan Kedua

Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu berdasarkan ayat Al-Qur'an, "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
 
Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Disini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau hubungan darah.
 
Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat, siapa pun mereka, baik ashhabul furudh, para ashabah, atau selain dari keduanya, merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris daripada baitulmal.
 
Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain, "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisaa': 7). Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
 
Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas telah menghapus kebiasaan pada awal munculnya Islam, dimana pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.
 
Adapun dalil dari al-Hadits adalah ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir." Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.
 
Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para ashabah.
 
Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman dari pihak ibu, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda, "(Saudara laki-laki ibu) adalah ahli waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya. Dia juga yang membayarkan diyatnya dan mewarisnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
 
Atsar ini, yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw., merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab sejarah.
 
Adapun secara logika, sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam, karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.
 
Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara laki-laki sekandung dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara laki-laki sekandung. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah.
 
Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para ashabah.
 
Jadi jika kita melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan mengenai jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan.
 
Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih kuat dan akurat, karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini, yang mana sudah cukup sulit menemukan baitulmal yang benar-benar dikelola oleh jamaah, yang amanah, yang terjamin pengelolaannya, yang adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.

Ashabah terbagi menjadi dua macam, yaitu:
 
1.      Ashabah nasabiyah (karena nasab). Ashabah nasabiyah atau ashabah senasab ini adalah mereka yang menjadi kerabat si mayit dari laki-laki yang tidak diselingi antara dia dan pewaris oleh seorang perempuan, seperti anak, ayah, saudara sekandung atau saudara seayah dan paman sekandung atau paman seayah. Termasuk di dalamnya anak perempuan apabila ia menjadi ashabah dengan saudara laki-lakinya, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menjadi ashabah karena bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, dan lain sebagainya. Ashabah nasabiyah ini terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu:
 
-         Ashabah bin nafs (menjadi ashabah dengan dirinya sendiri, dan nasabnya tidak tercampur unsur wanita)
-         Ashabah bil ghair (menjadi ashabah karena yang lain)
-         Ashabah ma'al ghair (menjadi ashabah bersama-sama dengan yang lain)
 
Dalam ilmu faraid, apabila lafazh ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa disertakan kata “bil ghair” atau “ma'al ghair”), maka yang dimaksud adalah ashabah bin nafs. Untuk penjelasan detail mengenai macam-macam ashabah nasabiyah di atas, insya Allah akan saya jelaskan berikut ini.
 
2.      Ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Seorang bekas tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan dan kerabat lainnya. Saya tidak akan menjelaskan lebih jauh mengenai ashabah sababiyah ini, karena di zaman ini perbudakan sudah dihapus dan dilarang.
 

Ashabah bin Nafs

Ashabah bin nafs adalah laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri atau diselingi oleh kaum wanita. Jadi ashabah bin nafs ini harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Ashabah bin nafs ini terdiri dari 4 arah, yaitu:
1.      Arah anak (furu’), yakni anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah.
2.      Arah ayah (ushul), yakni ayah, kakek shahih, dan generasi seterusnya ke atas, yang pasti hanya dari pihak laki-laki.
3.      Arah saudara laki-laki, yakni saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan generasi seterusnya ke bawah, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan generasi seterusnya ke bawah. Jadi  arah ini hanya terbatas pada saudara laki-laki sekandung dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4.      Arah paman, yakni paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung dan generasi seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari paman seayah dan generasi seterusnya ke bawah.
 
Keempat arah ashabah bin nafs di atas kekuatannya adalah sesuai dengan urutan nomornya. Jadi arah anak lebih didahulukan daripada arah ayah, arah ayah lebih didahulukan daripada arah saudara laki-laki, dan arah saudara laki-laki lebih didahulukan daripada arah paman. Bila salah satunya menjadi ahli waris tunggal pewaris (yang meninggal dunia), maka ia berhak mengambil seluruh harta warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tersebut. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para ashabah pun tidak mendapat bagian.
 
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika para ashabah bin nafs tersebut lebih dari satu orang? Maka cara pengunggulannya atau pentarjihannya adalah sebagai berikut:

Pengunggulan dari Segi Arahnya

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa ashabah bin nafs, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara sekandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara laki-laki sekandung maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakek. Rinciannya, insya Allah akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

Pengunggulan dari Segi Derajatnya

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang ashabah bin nafs, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pengunggulannya dapat dilakukan dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki. Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara laki-laki sekandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya daripada anak dari saudara laki-laki sekandung. Keadaan seperti ini disebut pengunggulan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.

Pengunggulan dari Segi Kuatnya Kekerabatan

Pengunggulan ini hanya digunakan untuk arah saudara laki-laki dan arah paman. Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak ashabah bi nafs yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pengunggulannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara sekandung lebih kuat daripada saudara seayah, paman sekandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara sekandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.
 

Ashabah bil Ghair

Ashabah bil ghair hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita, yaitu:
1.      Anak perempuan, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila bersamaan dengan anak laki-laki (saudara laki-lakinya).
2.      Cucu perempuan keturunan anak laki-laki, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila berbarengan dengan cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, baik ia saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya.
3.      Saudara perempuan sekandung, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila bersama saudara laki-laki sekandung (saudara laki-lakinya).
4.      Saudara perempuan seayah, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-laki seayah (saudara laki-lakinya).
Ketentuan pembagian untuk ashabah bil ghair adalah bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.

Syarat-syarat Ashabah bil Ghair

Ashabah bil ghair tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
 
1.      Wanita-wanita tersebut harus yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi ashabah bil ghair. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi ashabah bil ghair dengan adanya saudara laki-laki sekandung dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan dari saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
2.      Laki-laki yang menjadi ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi penguat cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia menjadi penghalang hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara perempuan sekandung disebabkan tidak sederajat.
3.      Laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuatnya dengan ahli waris perempuan ashabul furudh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat menguatkan saudara perempuan sekandung. Sebab saudara perempuan sekandung lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
 
Setiap perempuan dari kelompok ahli waris ashabah bil ghair berhak mendapat bagian setengah jika sendirian, dan ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi ashabah bila mempunyai saudara laki-laki, yakni bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang telah disebutkan diatas, yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah.
 
Adapun sebab penamaan ashabah bil ghair adalah karena hak ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya ashabah bin nafs, yakni anak laki-laki, cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para ashabah bin nafs itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut akan mendapat hak warisnya secara fardh.
 

Ashabah Ma'al Ghair

Ashabah ma'al ghair ini khusus bagi para saudara perempuan sekandung maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan kelompok furu’ dari pihak perempuan, yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan generasi seterusnya ke bawah, dimana mereka (anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan generasi seterusnya ke bawah tersebut) tidak mempunyai saudara laki-laki. Maka dalam hal ini, saudara perempuan sekandung ataupun saudara perempuan seayah akan menjadi ashabah. Jenis ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah ashabah ma'al ghair. Adapun saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara (laki-laki atau perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi ashabah.
 
Dalil untuk ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Huzail bin Syarhabil berkata, 'Abu Musa al-Asy'ari ra. ditanya tentang bagian warisan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan.' Lalu Abu Musa menjawab, 'Anak perempuan dan saudara perempuan mendapatkan bagian separuh, dan datanglah kepada Ibnu Mas'ud, niscaya dia akan mengikuti pendapatku. 'Kemudian ibnu Mas'ud ra. ditanya tentang perihal yang sama dan diberitahukan mengenai pendapat Abu Musa, maka dia menjawab, 'Sungguh, aku orang yang tersesat dan bukanlah termasuk orang yang memberikan petunjuk. Sesungguhnya, dalam masalah ini aku akan memberikan hukum sesuai dengan ketentuan yang disabdakan, 'Anak perempuan memperoleh bagian separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh bagian seperenam sebagai penyempurna dua per tiga, dan sisanya, untuk saudara perempuan.' Setelah itu, kami kembali mendatangi Abu Musa untuk mengabarkan pendapat Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata, 'Janganlah kalian menanyakan kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) ada pada kalian.'”
 
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud di atas dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan dan/atau cucu perempuan dari anak laki-laki, maka mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah sebagai ashabah ma'al ghair.
 
Di dalam kitab Hasyiyatul Bajuri halaman 108 dituliskan, "Adapun saudara perempuan (sekandung dan seayah) menjadi ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di sisi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah sebagai ashabah agar terkena pengurangan."
 
Bila seorang saudara perempuan sekandung menjadi ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara laki-laki sekandung sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan saudara sekandung ataupun seayah (keponakan), paman sekandung ataupun yang seayah. Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
 
Contoh pertama, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Maka bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara perempuan sekandung disebabkan ia menjadi ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya sama seperti saudara laki-laki sekandung. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena adanya saudara perempuan sekandung.
 
Contoh kedua, seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Maka suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat, menjadi hak dua saudara perempuan sekandung pewaris sebagai ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara perempuan sekandung.
 
Contoh ketiga, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (kemenakan). Maka dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung terhalang oleh saudara perempuan seayah.
 
Contoh keempat, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman sekandung. Maka anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman sekandung.
 

Masalah Warisan Orang yang Memiliki Dua Jalur Keturunan

Terkadang ada seseorang yang mempunyai dua jalur keturunan, di mana setiap jalur yang ada membuat orang yang bersangkutan berhak mendapatkan warisan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai ashabah, atau ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai dzawil arham. Kemudian timbul pertanyaan, apakah orang ini dapat mewarisi dua kali, dengan dua jalurnya itu atau hanya sekali saja?
 
Maka jawabannya adalah, hal tersebut sesuai dengan keadaannya. Semua itu dapat mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut:
 
1.      Apabila dalam diri seseorang terkumpul dua jalur keturunan atau lebih dan semuanya menjadikan ia sebagai ashabah, maka ia mewarisi melalui jalur yang lebih kuat. Contohnya, seorang anak laki-laki yang juga menjadi orang yang memerdekakan ayahnya. Maka ia akan mewarisi ayahnya dengan sifat sebagai anak bukan sebagai orang yang memerdekakan. Maka dapat disimpulkan, pada kasus ini seseorang tidak dapat mewarisi secara dua kali.
2.      Apabila dalam diri seseorang terkumpul bagian fardh dan juga bagian ashabah, maka ia dapat mewarisi melalui dua jalur tersebut. Misalnya, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka untuk nenek seperenam, saudara laki-laki seibu seperenam, suami setengah sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai ashabah karena ia anak paman kandung.
3.      Apabila jalur keturunan lebih dari satu yang tidak membawa banyak sifat bagi ahli waris, seperti nenek yang mempunyai dua jalur kekerabatan. Misalnya ibu dari ibunya ibu, yang pada saat bersamaan ia juga adalah ibu dari bapaknya bapak, maka pembagian warisan cukup satu kali, yaitu hanya mendapatkan seperenam.

Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek dan Saudara

Baik Al-Qur'an maupun Al-Hadits tidak menjelaskan secara jelas tentang hukum waris bagi kakek yang sahih ketika bersamaan dengan saudara sekandung ataupun saudara seayah. Didalam Al-Qur’an hanya diterangkan mengenai hak waris ayah ketika bersamaan dengan para saudara. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., disebutkan bahwa Umar berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw. Setelah membaca hamdalah dan memuji Allah, ia berkata: Sesungguhnya telah diturunkan ayat tentang pengharaman khamar (minuman keras) yang terbuat dari lima jenis; gandum, jelai, kurma, anggur dan madu. Khamar adalah sesuatu yang menghilangkan kesadaran akal. Dan ada tiga perkara, wahai hadirin sekalian, yang aku ingin sekali Rasulullah saw. mewasiatkan kepada kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan perkara-perkara yang masuk dalam kategori riba. (Shahih Muslim No.5360)
 
Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam menentukan masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakek yang sahih dengan saudara."
 
Para imam madzhab pun berbeda pendapat mengenai hak waris kakek bila bersamaan dengan para saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw. Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua madzhab sebagai berikut:

Pendapat Madzhab Pertama

Mereka menyatakan bahwa para saudara, baik saudara sekandung, saudara seayah, ataupun seibu, terhalang (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling tinggi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis. Misalnya, jika ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak. Bila ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah saudara, kemudian barulah arah paman. Oleh karena itu, golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah, mencakup pula kakek, buyut (ayahnya kakek), dan seterusnya keatas, lebih didahulukan daripada arah saudara. Dengan demikian, hak waris para saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada ayah. Madzhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Abu Musa, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan 14 sahabat yang lain. Pendapat ini diikuti oleh madzhab Hanafi, dan juga oleh syaikh Abdurrahman as-Sa’dy dan syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz.

Pendapat Madzhab Kedua

Mereka berpendapat bahwa para saudara sekandung dan saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara sekandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah. Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah (ayahnya ayah), sedangkan saudara adalah cabang dari ayah (anak-anaknya ayah), karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan kezhaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara sekandung kemudian di antara mereka ada yang tidak diberi.
 
Alasan lain yang dikemukakan madzhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara terhadap harta jauh lebih besar daripada kakek. Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan hanya kepada kakek tanpa saudara diberi bagian, kemudian kakek ini wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya kakek, yang berarti paman-paman para saudara. Dengan demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya menggigit jari dan kebagian tangis, tidak mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.
 
Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.
 
Didalam buku “Pembagian Waris menurut Islam”, karya Muhammad Ali Ash-Shabuni, disebutkan bahwa pendapat madzhab kedua ini adalah pendapat jumhur ulama, artinya ini adalah pendapat yang paling rajih (kuat). Namun dalam buku “Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih”, karya Muhaamd bin Shalih al-‘Utsaimin, disebutkan bahwa pendapat yang paling rajih (kuat) adalah madzhab yang pertama. Wallahu’alam.
 

Penjelasan Madzhab Kedua

Untuk lebih menjelaskan pendapat madzhab yang kedua, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri sebagai berikut:
-         Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan sebagainya.
-         Keadaan kedua: kakek mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu, istri, suami, nenek, dan anak perempuan.
 

Hukum Keadaan Pertama

Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang paling menguntungkan baginya dari dua pilihan yang ada, agar kakek lebih banyak memperoleh harta warisan. Terdapat dua metode dalam hal ini, yakni:
 
1.      Dengan cara pembagian.
2.      Dengan cara mendapatkan 1/3 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris.
 
Mana di antara kedua metode tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila metode pembagian lebih baik baginya maka hendaklah kakek dibagi dengan cara pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya. Dengan demikian, minimal bagian kakek adalah 1/3 bagian pada hukum untuk keadaan pertama ini.

Dengan Cara Pembagian

Yang dimaksud dengan cara pembagian adalah kakek dikategorikan seperti saudara sekandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara laki-laki sekandung. Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan sekandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara laki-laki sekandung. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
 
Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:
 
1.      Kakek dengan seorang saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 2/3.
2.      Kakek dengan dua orang saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 1/2.
3.      Kakek dengan tiga orang saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 2/5.
4.      Kakek dengan saudara laki-laki sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 1/2.
5.      Kakek dengan saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 2/5.
 
Kelima keadaan di atas lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian. Bila menggunakan metode pembagian kemungkinan merugikan kakek, maka kakek mendapat bagiannya dengan cara mendapatkan 1/3 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris.
 
Selain itu, ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu adalah sebagai berikut:
 
1.      Kakek dengan dua orang saudara laki-laki sekandung.
2.      Kakek dengan empat orang saudara perempuan sekandung.
3.      Kakek dengan seorang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung.

Dengan Cara Mendapatkan 1/3 Dari Seluruh Harta Waris Yang Ditinggalkan Pewaris

Selain dari delapan keadaan yang dikemukakan di atas, maka pemberian 1/3 dari harta waris kepada  kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara perempuan sekandung atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat 1/3, dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita. Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian (metode pertama), maka kakek akan dirugikan karena akan menerima kurang dari 1/3 harta warisan.
 

Hukum Keadaan Kedua

Bila kebersamaan kakek dengan para saudara tersebut dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh yang lain, maka kakek dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya, yaitu:
1.      Dengan metode pembagian.
2.      Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh.
3.      Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris.
 
Bagaimanapun keadaannya, pada hukum kedua ini, minimal kakek diberi bagian 1/6 secara fardh, dan para saudara sekandung bisa saja dikurangi haknya atau bahkan digugurkan sama sekali jika memang harta tersebut telah habis. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
 
Bila menggunakan metode pertama lebih menguntungkan kakek, maka hendaknya kakek dibagi dengan cara itu. Dan jika dengan 1/3 dari sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari 1/6 bagaimanapun keadaannya, terkecuali jika terjadi ‘aul yang dalam hal ini hanya terjadi pada masalah al-akdariyah (insya Allah akan dijelaskan pada sub bab yang terakhir pada bab ini).

Contoh 1

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakek, dan saudara laki-laki sekandung. Maka bagaimanakah pembagiannya? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
 
-         Dengan metode pembagian:
Suami mendapatkan 1/2 karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakek 1/4 dan saudara laki-laki sekandung juga 1/4. Dengan demikian, suami mendapat 2/4, kakek 1/4 dan saudara laki-laki sekandung juga 1/4.
 
-         Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Suami mendapatkan 1/2 karena pewaris tidak mempunyai anak, kakek mendapat 1/3 dari 1/2, yakni 1/6 dan saudara laki-laki sekandung mendapat sisanya, yakni 2/6. Dengan demikian, suami mendapat 3/6, kakek 1/6 dan saudara laki-laki sekandung 2/6.
 
-         Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Maka ini sudah jelas hasilnya akan sama dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh, yakni suami mendapat 3/6, kakek 1/6 dan saudara laki-laki sekandung 2/6.
 
 
= 1/4 ? 1/6 ? 1/6
= 3/12 ? 2/12 ? 2/12
= 3/12 adalah yang paling besar
 
Setelah dibandingkan, ternyata 3/12 (1/4) lebih besar dari 1/6. Maka pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan metode pembagian, dan metode inilah yang digunakan dalam menentukan bagian waris buat kakek.

Contoh 2

Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua orang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka bagaimanakah pembagiannya? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
 
-         Dengan metode pembagian:
Ibu mendapat 1/6 bagian, dan sisanya (5/6) dibagikan kepada kakek, dua orang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan. Karena kakek dianggap sama dengan saudara laki-laki sekandung, maka jumlah kepala saudara perempuan sekandung dianggap ada 8 orang, sehingga pembagi harus ditashih, dari 6 menjadi 48, karena 5 tidak bisa dibagi 8. Dengan demikian, bagian ibu adalah 8/48, kakek mendapat 10/48, dua orang saudara laki-laki sekandung mendapat 20/48 sehingga masing-masing saudara laki-laki sekandung mendapat 10/48, dan dua orang saudara perempuan sekandung mendapat 10/48, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 5/48.
 
-         Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Ibu mendapat 1/6 bagian, kakek mendapat 1/3 dari sisa harta yang ada, yakni 1/3 dari 5/6, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagian anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Dengan demikian, bagian ibu adalah 3/18, kakek mendapat 5/18, dan sisanya, yakni 10/18 adalah bagian dua saudara laki-laki sekandung dan dua saudara perempuan sekandung. Dua saudara laki-laki sekandung dan dua saudara perempuan sekandung dianggap berjumlah 6 kepala saudara perempuan sekandung. Karena 10 tidak bisa dibagi 6, maka nilai ini harus ditashih lagi, yakni dikalikan 3. Sehingga bagiannya menjadi:
 
§         Ibu = 3/18 x 3/3 = 9/54
§         Kakek = 5/18 x 3/3 = 15/54
§         Masing-masing saudara laki-laki sekandung = 10/18 x 3/3 x 2/6  = 10/54
§         Masing-masing saudara perempuan sekandung = 10/18 x 3/3 x 1/6 = 5/54
 
-         Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Ibu mendapat 1/6 bagian, kakek mendapat 1/6 bagian, dan sisanya (4/6) dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagian anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Jumlah saudara laki-laki sekandung ada dua orang, maka jumlah kepala saudara perempuan sekandung dianggap ada 6 orang, sehingga pembagi harus ditashih, dari 6 menjadi 18, karena 4 tidak bisa dibagi 6. Dengan demikian, bagian ibu adalah 3/18, kakek mendapat 3/18, dua orang saudara laki-laki sekandung mendapat 8/18 sehingga masing-masing saudara laki-laki sekandung mendapat 4/18, dan dua orang saudara perempuan sekandung mendapat 4/18, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 2/18.
 
Dari ketiga metode diatas, manakah yang paling menguntungkan buat kakek? Mari kita check:
 
= 10/48 ? 15/54 ? 3/18
= 5/24 ? 5/18 ? 1/6
= 15/72 ? 20/72 ? 12/72
= Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 20/72.
 
Setelah dibandingkan, ternyata yang paling besar adalah 20/72 (15/54). Maka pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan menerima sepertiga (1/3) dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh, dan metode inilah yang digunakan dalam menentukan bagian waris buat kakek.

Contoh 3

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek, kakek, dan tiga orang saudara perempuan sekandung. Maka berapakah bagian waris masing-masing? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
 
-         Dengan metode pembagian:
Anak perempuan 1/2, nenek 1/6, dan sisanya untuk kakek dan tiga orang saudara perempuan sekandung. Diketahui sisanya adalah 2/6, dimana pembagi ini harus ditashih, dari 6 menjadi 30. Maka bagian anak perempuan 15/30, nenek 5/30, kakek 4/30, dan tiga orang saudara perempuan sekandung 6/30, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 2/30.
 
-         Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Anak perempuan 1/2, nenek 1/6, kakek 1/3 dari 2/6, yakni 2/18 dan tiga orang saudara perempuan sekandung mendapat sisanya. Diketahui sisanya adalah 4/18, sehingga pembagi ini harus ditashih lagi, dari 18 menjadi 54. Maka bagian anak perempuan 27/54, nenek 9/54, kakek 6/54, dan tiga orang saudara perempuan sekandung 12/54, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 4/54.
 
-         Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Anak perempuan 1/2, nenek 1/6, kakek 1/6, dan sisanya dibagikan kepada tiga orang saudara perempuan sekandung dibagi secara rata. Dengan demikian anak perempuan mendapat 3/6, nenek 1/6, kakek 1/6, dan sisanya 1/6 dibagikan kepada tiga orang saudara perempuan sekandung dibagi secara rata. Nilai ini harus ditashih lagi, yakni dikalikan 3. Setelah ditashih, maka anak perempuan mendapat 9/18, nenek 3/18, kakek 3/18, dan masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 1/18.
 
Dari ketiga metode diatas, manakah yang paling menguntungkan buat kakek? Mari kita check:
 
= 4/30 ? 6/54 ? 3/18
= 2/15 ? 1/9 ? 1/6 à Diketahui 15 x 9 x 6 = 810
= 108/810 ? 90/810 ? 135/810
= Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 135/810.
 
Setelah dibandingkan, ternyata yang paling besar adalah 135/810 (3/18). Maka pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris, dan metode inilah yang digunakan dalam menentukan bagian waris buat kakek.

Contoh 4

Seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek, dan empat saudara laki-laki sekandung. Maka berapakah bagian waris masing-masing? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
 
-         Dengan metode pembagian:
Suami mendapat 1/4, lima anak perempuan mendapat 2/3, dan sisanya (1/12) untuk kakek dan empat saudara laki-laki sekandung. Tanpa perlu dilanjutkan perhitungan masing-masing ahli waris, terlihat bahwa metode ini tidak menguntungkan bagi kakek jika dibandingkan dengan metode ketiga.
 
-         Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Apalagi metode ini, kakek akan mendapatkan 1/3 dari 1/12, yakni 1/36. Ini lebih merugikan lagi dari metode pertama.
 
-         Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Tidak diragukan lagi, bahwa metode ini yang paling menguntungkan bagi kakek, karena ia mendapat 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris dan metode inilah yang harus kita ambil dalam mencari bagian waris buat kakek. Maka suami mendapat 1/4, lima anak perempuan mendapat 2/3, dan kakek mendapat 1/6, sedangkan empat saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan apa-apa karena tidak ada bagian yang bersisa. Nilai pembagi di ‘aul kan lagi, dari 12 menjadi 13, sehingga suami mendapat 3/13, lima anak perempuan mendapat 8/13, dan kakek mendapat 2/13. Berhubung anak perempuan ada lima orang, maka harus dilakukan tashih, karena 8 tidak bisa dibagi 5. Setelah ditashih, maka suami mendapat 15/65, lima anak perempuan mendapat 40/65, sehingga masing-masing anak perempuan mendapat 8/65 dan kakek mendapat 10/65.

Contoh 5

Seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dan sepuluh saudara perempuan sekandung. Maka berapakah bagian waris masing-masing? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
 
-         Dengan metode pembagian:
Kedua orang istri 1/8, anak perempuan 1/2, dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna dua per tiga 2/3, ibu mendapatkan 1/6, dan sisanya (1/24) untuk kakek dan sepuluh saudara perempuan sekandung. Tanpa perlu dilanjutkan perhitungan masing-masing ahli waris, terlihat bahwa metode ini tidak menguntungkan bagi kakek jika dibandingkan dengan metode ketiga.
 
-         Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Apalagi metode ini, kakek akan mendapatkan 1/3 dari 1/24, yakni 1/72. Ini lebih merugikan lagi dari metode pertama.
 
-         Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Tidak diragukan lagi, bahwa metode ini yang paling menguntungkan bagi kakek, karena ia mendapat 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris dan metode inilah yang harus kita ambil dalam mencari bagian waris buat kakek. Maka kedua orang istri 1/8, anak perempuan 1/2, dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna dua per tiga 2/3, ibu mendapatkan 1/6, dan kakek juga 1/6. Sedangkan sepuluh saudara perempuan sekandung tidak mendapatkan apa-apa sebab ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada. Nilai pembagi di ‘aul kan lagi, dari 24 menjadi 27, sehingga kedua orang istri mendapat 3/27, anak perempuan mendapat 12/27, cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 4/27, ibu mendapat 4/27 dan kakek mendapat 4/27. Karena jumlah istri ada dua, maka harus dilakukan tashih, karena 3 tidak bisa dibagi 2. Setelah ditashih, maka kedua orang istri mendapat 6/54, sehingga masing-masing istri mendapat 3/54, anak perempuan mendapat 24/54, cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 8/54, ibu mendapat 8/54 dan kakek mendapat 8/54.


Definisi al-'Aul

Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.

Latar Belakang Terjadinya 'Aul

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.

Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashhabul furudh.

Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.

Beberapa Contoh Masalah 'Aul

  1. Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
  2. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
  3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al-mubahalah.
  4. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
    Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.
  5. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah syuraihiyah.

Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)

Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
  1. Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
    Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
  2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
    Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
  3. Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.

Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)

Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.
Catatan
  1. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
  2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
  3. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
  4. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada 'aul.
  5. Definisi Munasakhat

    Munasakhat menurut ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Dengan demikian, bisa saja dalam satu keadaan terdapat seorang pewaris (orang yang meninggal) yang meninggalkan beberapa ahli waris, lalu ada diantara mereka, salah seorang atau lebih yang juga meninggal dunia, dimana harta warisan belum dibagikan sama sekali kepada mereka semua. Maka dalam hal ini terdapat pewaris kesatu (orang yang meninggal dunia pertama kali) dan pewaris kedua, yakni orang yang meninggal dunia kemudian, dimana sebenarnya pewaris kedua ini adalah ahli waris dari pewaris kesatu. Masing-masing mereka, yakni pewaris kesatu memiliki ahli waris tersendiri (ahli waris kesatu) dan pewaris kedua memiliki ahli waris tersendiri juga (ahli waris kedua), dimana dalam hal ini terdapat tiga macam keadaan yang mungkin terjadi, yakni:
     
    1.      Ahli waris kedua adalah merupakan ahli waris dari pewaris pertama dengan tingkat kekerabatan yang sama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki. Kemudian salah seorang dari kelima anak laki-laki itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang tersebut, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak laki-laki yang tersisa, seolah-olah ahli waris kedua yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.
     
    2.      Ahli waris kedua adalah merupakan ahli waris dari pewaris pertama, namun tingkat kekerabatannya tidak sama, yakni ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara perempuan sekandung. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan ulama faraid disebut sebagai masalah jami'ah.
     
    3.      Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama, atau bisa juga sebagian ahli waris kedua termasuk sosok yang berhak untuk menerima hak waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan perhitungan berdasarkan teori jami’ah.
     

    Tata Cara Perhitungan untuk Kasus Munasakhat

    Dalam hal menghitung bagian masing-masing ahli waris untuk kasus munasakhat, terdapat 4 tahap yang harus dilakukan, yakni:
     
    1.      Menghitung bagian untuk seluruh ahli waris yang pertama dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak waris untuk ahli waris yang meninggal.
    2.      Menghitung bagian untuk ahli waris yang kedua dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, tanpa memperdulikan bagian ahli waris pertama diatas. Kemudian hasilnya dikalikan dengan bagian yang diterima oleh pewaris kedua.
    3.      Membandingkan pembagi antara ahli waris pertama dan ahli waris kedua, lalu disamakan sesuai dengan kelipatan persekutuan terkecilnya.
    4.      Menghitung bagian seluruh ahli waris (jami’ah, yakni ahli waris pertama dan kedua digabungkan) sesuai dengan pembagi yang sudah dihasilkan pada tahap 3 diatas.

    Contoh 1

    Seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara laki-laki sekandung. Kemudian salah seorang saudara perempuan sekandung itu meninggal, dimana ia tidak mempunyai ahli waris kecuali sebagaimana yang tertulis diatas. Maka berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
     
    Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut:
    3 orang anak perempuan mendapat 2/3, dan sisanya 1/3 untuk dua saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara laki-laki sekandung. Pembagi ditashih dari 3 menjadi 36. Dengan demikian 3 orang anak perempuan mendapat 24/36, sehingga masing-masing anak perempuan mendapat 8/36. Kemudian sisanya 12/36 untuk dua saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara laki-laki sekandung, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 3/36, dan saudara laki-laki sekandung mendapat 6/36.
     
    Tahap kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut:
    Pewaris kedua hanya meninggalkan ahli waris seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara laki-laki sekandung, adapun 3 orang anak perempuan pewaris pertama terhalang. Bagian untuk seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara laki-laki sekandung adalah 3/36, dengan demikian seorang saudara perempuan sekandung mendapat 1/36 dan seorang saudara laki-laki sekandung mendapat 2/36.
     
    Tahap ketiga, kita lihat pembagi antara ahli waris pertama dan ahli waris kedua adalah sama, yakni 36. Karena itu abaikan tahap ini, dan langsung menuju ke tahap 4 dibawah ini.
     
    Tahap keempat, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
    -         Masing-masing anak perempuan mendapat 8/36
    -         Seorang saudara perempuan sekandung mendapat 3/36 + 1/36 = 4/36
    -         Seorang saudara laki-laki sekandung mendapat 6/36 + 2/36 = 8/36
     
    Penting! Pembagian warisan diatas diambil hanya dari harta milik pewaris pertama. Seandainya pewaris kedua memiliki harta warisan tersendiri, maka ahli waris kedua mendapat bagian lain yang besarnya tidak dipengaruhi oleh ahli waris dari pewaris pertama. Yakni saudara perempuan sekandung mendapat 1/3 dan seorang saudara laki-laki sekandung mendapat 2/3, yang diambil dari harta warisan yang murni milik pewaris kedua (tanpa dicampur dengan bagian dari pewaris pertama). Jadi ahli waris dari pewaris kedua mendapat pembagian warisan sebanyak dua kali. Harap diingat hal ini, karena saya tidak akan memberitahukan lagi pada contoh soal berikutnya.

    Contoh 2

    Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Kemudian cucu perempuan tersebut meninggal dengan meninggalkan suami, ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
     
    Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut:
    Istri mendapat 1/8, ayah mendapat 1/6, ibu mendapat 1/6, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat 1/2. Ternyata setelah dibagikan masih ada sisa, dimana yang berhak untuk mendapatkannya hanya ayah. Dengan demikian, pembagiannya adalah:
    -         Istri: 3/24
    -         Ayah: 4/24 + 1/24 = 5/24
    -         Ibu: 4/24
    -         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 12/24
     
    Tahap kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut:
    Ayah, yang pada tahap pertama menjadi ahli waris pertama, maka pada tahap kedua ini ia berubah statusnya menjadi buyut (bapaknya kakek), yang mana ia berhak mendapat 1/6, karena buyut ini tidak ada yang menghalangi kecuali ayah dan kakek dari pewaris kedua, sedangkan ayah dan kakek dari pewaris kedua sudah tidak ada. Adapun istri menjadi nenek, dan ia terhalang oleh adanya ibu ahli waris kedua. Begitu juga ibu pada tahap pertama kini sudah berubah statusnya menjadi buyut, dan ia terhalang oleh adanya ibu pewaris kedua. Maka dapat diketahui bagian untuk:
    -         Ayah: 1/6
    -         Suami: 1/2
    -         Ibu: 1/6
    -         3 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki mendapat sisanya: 5/12
    Nilai pembagi 12 ditashih lagi menjadi 84, karena jumlah anak perempuan dan anak lelaki dianggap ada 7 (ingat, seorang laki-laki dianggap dua orang perempuan). Kemudian, hasilnya dikalikan dengan bagian yang diterima oleh pewaris kedua, yakni 12/24 atau 1/2. Maka kini pembagiannya menjadi:
    -         Ayah: 14/84 x 1/2 = 14/168
    -         Suami: 21/84 x 1/2 = 21/168
    -         Ibu: 14/84 x 1/2 = 14/168
    -         3 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki mendapat sisanya: 35/84 x 1/2 = 35/168, sehingga masing-masing anak perempuan mendapat 5/168 dan masing-masing anak laki-laki mendapat 10/168.
     
    Tahap ketiga, tentukan KPK dari 24 dan 168. Maka diketahui KPK nya adalah 168, karena ia dapat dibagi dengan bilangan 24 dan 168 tanpa menghasilkan sisa.
     
    Tahap keempat, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
    -         Istri: 3/24 x 7/7 = 21/168
    -         Ayah: 5/24 + 14/168 = 35/168 + 14/168 = 49/168
    -         Ibu (Ahli waris 1): 4/24 x 7/7 = 28/168
    -         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: Tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
    §         Suami: 21/168
    §         Ibu (Ahli waris 2): 14/168
    §         Masing-masing anak perempuan mendapat 5/168 dan masing-masing anak laki-laki mendapat 10/168

    Definisi ar-Radd

    Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
    "Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64) "Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
    Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
    Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.
    Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

    Syarat-syarat ar-Radd

    Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
  6. adanya ashhabul furudh
  7. tidak adanya 'ashabah
  8. ada sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.

Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
  1. anak perempuan
  2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki
  3. saudara kandung perempuan
  4. saudara perempuan seayah
  5. ibu kandung
  6. nenek sahih (ibu dari bapak)
  7. saudara perempuan seibu
  8. saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya --ayah atau kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai 'ashabah.

Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam itu:
  1. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
  2. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
  3. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
  4. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang sama --yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.
Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd.
Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.

Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada salah satu dari suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikan pokok masalah, yakni tiga.

Contoh-contoh keadaan kedua

  1. Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat, karena jumlah bagiannya ada empat.
  2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
  3. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
  4. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya empat.
  5. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.
Begitu seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.

Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata.
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat, karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4).
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga puluh lima bagian-- dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh bagian.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secara merata untuk keempat anak perempuan pewaris.
Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu, pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak memperoleh tiga bagian.

Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:

Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.
Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:

Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri.
Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.
Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.
Pada ilustrasi pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari enam, dan dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.
Sedangkan dalam ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.
Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan (7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd.
Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.
Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia mendapat lima (5) bagian.
Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang tersisa tiga puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.
Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh (7) bagian.
Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40.

  1.  

    Tata Cara Perhitungan untuk Kasus Munasakhat Bertingkat

    Bisa saja terjadi dalam satu keadaan, seseorang wafat meninggalkan ahli waris tertentu. Lalu diantara ahli waris tersebut, ada yang meninggal, kemudian ada yang meninggal lagi, kemudian ada yang meninggal lagi, maka bagaimanakah mengatasi hal ini?
     
    Maka jika terjadi hal seperti ini, kita tetap menggunakan cara seperti yang telah kita lakukan pada kasus munasakhat sebelumnya, kemudian pada tahap terakhir, kita samakan pembagi untuk setiap tahapnya.

    Contoh 1

    Seseorang wafat meninggalkan suami, saudara perempuan seibu, dan paman sekandung. Kemudian suami wafat dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, meninggalkan nenek dari jalur ibu dan seorang anak laki-laki. Maka berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
     
    Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut:
    Suami mendapat 1/2, saudara perempuan seibu mendapat 1/6, dan paman sekandung mendapat sisanya. Dengan demikian, pembagiannya adalah sebagai berikut:
    -         Suami: 3/6
    -         Saudara perempuan seibu: 1/6
    -         Paman sekandung: 2/6
     
    Tahap kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut:
    Anak perempuan mendapat 1/2, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat 1/6, ayah mendapat 1/6, dan ibu mendapat 1/6. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
    -         Anak perempuan: 3/6
    -         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 1/6
    -         Ayah: 1/6
    -         Ibu: 1/6
    Hasil diatas harus dikalikan dengan bagian yang diterima oleh pewaris kedua, yakni 3/6 atau 1/2. Maka kini pembagiannya menjadi:
    -         Anak perempuan: 3/6 x 1/2 = 3/12
    -         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 1/6 x 1/2 = 1/12
    -         Ayah: 1/6 x 1/2 = 1/12
    -         Ibu: 1/6 x 1/2 = 1/12
     
    Tahap ketiga, kita hitung bagian untuk ahli waris yang ketiga sebagai berikut:
    Ayah pada tahap kedua, pada tahap ketiga ini berubah statusnya menjadi kakek shahih, dan ibu pada tahap kedua, pada tahap ketiga ini berubah statusnya menjadi nenek dari jalur ayah. Dengan demikian, bagian untuk nenek dari jalur ayah dan nenek dari jalur ibu adalah 1/6, dimana mereka bersekutu di dalam 1/6 tersebut. Kemudian kakek mendapat 1/6. Lalu sisanya (4/6) adalah bagian seorang anak laki-laki. Hasil mereka dikalikan lagi dengan bagian untuk anak perempuan pada tahap 2 diatas, yakni 3/12 atau 1/4. Maka kini pembagiannya menjadi:
    -         Nenek dari jalur ayah: 1/6 x 1/2 x 1/4 = 1/48
    -         Nenek dari jalur ibu: 1/6 x 1/2 x 1/4 = 1/48
    -         Kakek: 1/6 x 1/4 x 2/2 = 2/48
    -         Anak laki-laki: 4/6 x 1/4 x 2/2 = 8/48
     
    Tahap keempat, tentukan KPK dari 6, 12 dan 48. Maka diketahui KPK nya adalah 48, karena ia dapat dibagi dengan bilangan 6, 12 dan 48 tanpa menghasilkan sisa.
     
    Tahap kelima, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
    -         Saudara perempuan seibu: 1/6 x 8/8 = 8/48
    -         Paman sekandung: 2/6 x 8/8 = 16/48
    -         Suami: Tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
    §         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 1/12 x 4/4 = 4/48
    §         Ayah: (1/12 x 4/4) + 2/48 = 6/48
    §         Ibu: 1/12 x 4/4 = 4/48
    §         Anak perempuan: Tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
    ·        Nenek dari jalur ayah: 1/48
    ·        Nenek dari jalur ibu: 1/48
    ·        Anak laki-laki: 8/48
     

    At-Takharuj min at-Tarikah

    Yang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah:
     
    -         Pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagiannya secara syar'i. Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
    -         Dikeluarkannya sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris memintanya, kemudian ia bersedia menggantinya. Menurut syara', hal tersebut boleh dilakukan, jika seluruh ahli waris ridha.
     
    Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan diri dari hak warisnya".
     

    Tata Cara Perhitungan untuk Kasus At-Takharuj min at-Tarikah

    Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua cara yang dapat menjadi pilihannya, yaitu:
     
    1.      Ia menyatakan kepada seluruh ahli waris yang ada, bahwa ia mengundurkan diri, atau menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, berikut dengan imbalan yang ia inginkan. Maka dalam hal ini, carilah pembaginya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris yang mengundurkan diri tersebut, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada itulah pembagi yang harus digunakan oleh sisa ahli waris.
    2.      Ia hanya memberitahukan kepada salah seorang dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama. Maka dalam hal ini, pembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi.

    Contoh 1

    Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Pewaris tersebut meninggalkan harta warisan berupa sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp.336.000.000,-. Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp.336.000.000,- itu. Dengan demikian, warisan berupa uang tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah.
     
    Maka pembagian pada tahap pertama adalah sebagai berikut:
    -         Istri: 1/8
    -         Anak perempuan: 1/2
    -         Ayah: 1/6 + Sisa
    Maka, setelah disamakan pembaginya, didapatkan pembagiannya adalah sebagai berikut:
    -         Istri: 3/24
    -         Anak perempuan: 12/24
    -         Ayah: 4/24 + 5/24 = 9/24
     
    Dengan demikian, nilai 24 dikurangi bagian istri (3) adalah 21. Maka angka 21 inilah yang kita gunakan untuk menjadi pembagi buat anak perempuan dan anak. Sehingga, pembagian tahap kedua adalah sebagai berikut:
    -         Anak perempuan: 12/21
    -         Ayah: 9/21
     
    Kemudian kalikan bagian diatas dengan harta waris yang ditinggalkan, yang dalam hal ini hanya uang sebesar Rp.336.000.000,-
     
    Nilai per bagian adalah 336.000.000 : 21 = Rp.16.000.000,-
    Bagian anak perempuan adalah 12 x 16.000.000 = Rp.192.000.000,-
    Bagian ayah adalah 9 x 16.000.000 = Rp.144.000.000,-

    Contoh 2

    Seseorang wafat dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang saudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Pembagian semula adalah sebagai berikut:
    -         Istri: 1/8
    -         2 anak laki laki dan seorang anak perempuan mendapat sisanya: 7/8, maka pembagi ini harus ditashih, yakni dikalikan 5 sehingga didapatkan pembagi baru adalah 40.
    Setelah ditashih, maka pembagiannya adalah:
    -         Istri: 5/40
    -         Seorang anak laki laki (1): 14/40
    -         Seorang anak laki laki (2): 14/40
    -         Seorang anak perempuan: 7/40
     
    Karena seluruh bagian anak perempuan diberikan kepada salah saudara leki-lakinya, maka disana ada penambahan bagian 7/40 untuk seorang anak laki-laki, sehingga bagiannya menjadi 21/40. Pembagian tahap akhirnya adalah sebagai berikut:
    -         Istri: 5/40
    -         Seorang anak laki laki (1): 14/40
    -         Seorang anak laki laki (2): 21/40