“Cara
terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah.
Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan?
Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu, berikan dia
tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan
kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh
waktu, dipoles oleh kenangan yang lebih bahagia.”
“Tentang
penilaian orang lain, tentang cemas diketahui orang lain siapa kau
sebenarnya. Maka ketahuilah, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu
persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang
tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat
kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu
sedih atau tidak. Boleh jadi, kita sedang menangis dalam seluruh
kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan
penilaian orang lain.”
“Kita
tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu
siapa pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis
setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu
persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita
sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi
manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita
sendiri.”
“Kita
tidak perlu membuktikan pada siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa?
Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian
orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian,
pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang
sebaik itu.”
“Apakah
Allah akan menerima seorang pelacur di Tanah suci? Jawabannya hanya
Allah yang tahu, kita tidak bisa menebak, menduga, memaksa, merajuk, dan
sebagainya. Itu hak penuh Allah. Tapi ketahuilah, Nak, ada sebuah kisah
sahih dari Nabi kita. Mungkin itu akan membuatmu menjadi mantap. Sebuah
kisah tentang pelacur yang memberikan minumnya kepada anjing yang
kehausan padahal ia juga sangat haus dan sisa air tinggal sedikit.
Hingga akhirnya pelacur itu menjemput ajalnya karena kehausan, namun
karena amal baiknya pada seekor anjing, Allah mengampuni dosa-dosanya.”
“Jadi
apakah Allah akan menerima ibadah haji seorang pelacur? Hanya Allah yang
tahu. Kita hanya bisa berharap dan takut. Senantiasa berharap atas
ampunanNya. Selalu takut atas azabNya. Belajarlah dari riwayat itu.
selalulah berbuat baik Upe, selalu. Maka semoga esok lusa, ada satu
perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni. Mengajar anak-anak
mengaji misalnya, boleh jadi itu adalah sebabnya.”
“Kita
sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika
ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah
langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak.
Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu banyak
kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung
menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena
keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita selalu tak
paham.”
“Apakah
kita berhak membenci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak
mengirimkan petir? Kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa
saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu
hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita
tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang
lain, kita sebenarnya membenci diri sendiri.”
“Saat
kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang
itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya,
bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas
kedamaian di dalam hati.”
“Lahir
atau mati adalah takdir Allah. Kita tidak bisa menebaknya. Kita tidak
bisa memilih orangtua, tanggal, tempat….tidak bisa. Itu hak mutlak
Allah. Kita tidak bisa menunda, maupun memajukannya walau sedetik.
Kenapa Mbah Putri harus meninggal di kapal ini? Allah yang tahu
alasannya. Dan ketika kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan
berarti kita jadi membenci, tidak menyukai takdir tersebut. Amat
terlarang bagi seorang muslim mendustakan takdir Allah.”
“Allah
memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Segala
sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita. Sebaliknya,
segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi amat buruk bagi kita.
Mulailah menerima dengan lapang hati. Karena kita mau menerima atau
menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan
kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa
basi menyapa pun tidak. Tidak peduli, Nah. Kabar baiknya, karena kita
tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak
berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana
menyikapinya. Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya.”
“Biarkanlah
waktu mengobati seluruh kesedihan. Ketika kita tidak tahu mau melakukan
apa lagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah,
maka itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari
demi hari akan menghapus selembar demi selembar kesedihan. Minggu demi
minggu akan melepas sepapan demi sepapan kegelisahan, bulan, tahun, maka
rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati. Biarkanlah waktu
mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati menerimanya. Sambil
terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif.”
“Dalam
Al Qur’an, ditulis dengan sangat indah, minta tolonglah kepada sabar dan
shalat. Bagaimana mungkin sabar bisa menolong? Tentu saja bisa. Dalam
situasi tertentu, sabar bahkan adalah penolong paling dahsyat. Tiada
terkira. Dan shalat, itu juga penolong terbaik tiada tara.”
“Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.
Wahai
laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya
menemukan saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak saat
menemukan.
Wahai
laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas
perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah
hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai
laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan?
Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga
rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
“Aku
tahu, sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syekh Raniri dan Cut Keumala,
sejak saat itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi.
Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak
bisa mencabut duri di kaki dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya
dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.”
“Aku
tahu Gurutta tidak mau lagi kehilangan orang-orang yang Gurutta sayangi,
tapi kebebasan pantas dibayar dengan nyawa. Aku membutuhkan Gurutta
dalam rencana ini.”
“Gurutta
masih ingat ceramah Gurutta beberapa hari lalu di masjid kapal?
Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tebaskan pedang
penuh gagah berani. Dengan lisanmu, sampai dengan perkasa. Atau dengan
di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.”
“Ilmu
agamaku dangkal Gurutta. Tapi malam ini, kita tidak bisa melawan
kemungkaran dengan benci di dalam hati atau lisan. Kita tidak bisa
menasihati perompan itu dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa
membebaskan seluruh penumpang dengan benci di dalam hati. Malam ini kita
harus menebaskan pedang. Percayalah Gurutta, semua akan berjalan baik.
Kita bisa melumpuhkan perompak itu. Aku mohon. Sungguh aku mohon.
Rencana ini sia-sia jika Gurutta tidak bersedia memimpinnya.”
“Apakah
arti cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta
sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin
tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan
botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku tahu, kau
akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita
justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah
dipahami para pecinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami
penjelasannya, tidak bersedia.”
“Lepaskanlah.
Maka esok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali
dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita.
Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta
sejatimu. Kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta,
atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau,
siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling
sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa
kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”
“Dengan
meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa
kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan
memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu
pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak
melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada
orang yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat,
menginjak-injak semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri.
Cinta itu ibarat bibit tanaman. Jika ia tumbuh di tanah yang subur,
disiram dengan pupuk pemahaman baik, dirawat dengan menjaga diri, maka
tumbuhlah dia menjadi pohon yang berbuah lebat dan lezat. Tapi jika
bibit itu tumbuh di tanah yang kering, disiram dengan racun maksiat,
dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah ia menjadi pohon meranggas,
berduri, berbuat pahit.”
“Jika
harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka
teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar. Sekali kau
bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apa pun
wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Jika pun kau akhirnya
tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang
lebih baik.”
“Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.
Wahai
laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya
menemukan saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak saat
menemukan.
Wahai
laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas
perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah
hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai
laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan?
Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga
rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar