Shalat Pembeda Mu`min dan
Munafiq
Shalat adalah barometer
amal seseorang. Jika shalatnya baik, maka seluruh amalnya pun pasti baik. Jika
shalatnya jelek, maka seluruh amalnya pun pasti jelek. Maka kita pun bisa
mengukur kualitas keberagamaan kita dengan meninjau ulang shalat kita; apakah
termasuk orang yang tingkat keberagamaannya sempurna (mu`min) ataukah yang
tingkat keimanannya sangat rendah (munafiq)?
Orang yang tingkat
keberagamaannya baik dan sempurna disebut oleh Allah swt dengan gelar mu`min,
muttaqin (orang bertaqwa), orang yang mendapatkan cahaya Allah swt atau
calon penghuni surga. Orang yang beriman itu sendiri, sebagaimana ditegaskan
al-Qur`an, shalatnya selalu khusyu’:
Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya (QS. al-Mu`minun [23] : 1-2).
Khusyu’ dalam shalat artinya merasakan takut akan siksa Allah swt; merasakan sakinah/ketenteraman
melalui dzikir; tunduk sepenuhnya tanpa menengadahkan kepala, menolehkan
penglihatan, dan memalingkan perhatian. Khusyu’ hanya bisa didapat oleh
orang yang selalu mengutamakan shalat di atas semua kepentingan lainnya (Tafsir
Ibn Katsir surat al-Mu`minun [23] : 1-2).
Orang yang mengutamakan shalat di atas kepentingan
lainnya, dijamin oleh Allah swt akan selalu mendapat cahaya dan hidayah ilahi.
Artinya, jika shalat selalu dinomorduakan sesudah kepentingan duniawi lainnya,
atau bahkan dinomortigakan dan seterusnya, ia tidak akan pernah mendapatkan
cahaya, hidayah dan bimbingan ilahi. Hidupnya akan gelap, sumpek, dan terasa
menyesakkan.
Cahaya Allah itu ada di atas
cahaya lainnya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,
dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (Cahaya-Nya itu akan diberikan) di masjid-masjid
yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.
Bertasbih kepada Allah di dalam masjid-masjid itu pada waktu pagi dan waktu
petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari)
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi guncang (QS. an-Nur [24] : 35-37. Dalam ayat ini secara
jelas Allah swt mengaitkan antara ketakutan yang menjadi modal utama khusyu’
dengan kesigapan untuk mengutamakan shalat di atas kesibukan duniawi).
Orang beriman juga disebutkan Allah swt selalu “memelihara”
shalatnya:
Dan orang-orang yang memelihara
shalatnya (QS. al-Mu`minun
[23] : 9).
“Memelihara” shalat ini artinya memelihara semua syarat
dan rukunnya, termasuk waktu, gerakan, dan kekhusyuannya. Nabi saw
menjelaskannya dalam hadits berikut:
خَمْسُ
صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلاَّهُنَّ
لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ
أَنْ يَغْفِرَ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ
شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Lima shalat
telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala. Siapa yang membaguskan wudlu`nya dan
melaksanakan shalat sesuai dengan waktunya, serta menyempurnakan rukuk dan
kekhusyu'annya, maka ia berhak mendapatkan janji dari Allah bahwa Dia akan
mengampuninya. Tetapi
siapa yang tidak melakukannya maka ia tidak mendapatkan janji dari Allah; jika
Allah berkehendak, Dia akan mengampuninya, dan jika berkehendak, Dia akan
mengadzabnya. (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab fil-muhafazhah 'ala
waqtis-shalawat no. 425)
Dalam ayat lain, orang-orang yang baik shalatnya dan
dijamin akan dimuliakan di surga ini adalah orang-orang yang mampu da`imun dalam
shalatnya:
Yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya (QS. al-Ma’arij [70] :
23)
Makna da`im dalam bahasa Arab ada dua: Pertama,
tenang dan tenteram. Artinya, dalam shalat, orang-orang ini sudah merasakan
ketenangan dan ketenteraman. Atau dalam istilah lainnya sudah khusyu’.
Kedua, menetap dan konsisten. Artinya orang-orang ini sudah istiqamah dan
konsisten dalam shalatnya, tidak naik turun terpengaruh oleh naik turunnya
keimanan, naik turunnya rizki, atau silih bergantinya musibah. Apapun situasi
dan kondisinya, shalatnya akan tetap baik, tanpa terkecuali (Tafsir Ibn Katsir
surat al-Ma’arij [70] : 23)
Sementara orang yang bertaqwa, disebutkan oleh Allah swt,
selalu memperhatikan shalat dari mulai yang wajib sampai semua yang sunatnya,
dimana puncak semua yang sunat itu adalah shalat tahajjud/shalat malam.
(Orang bertaqwa itu) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di waktu
sahur [akhir-akhir malam] mereka beristighfar [memohon ampun kepada Allah] (QS. ad-Dzariyat [51] :
17-18).
Dalam edisi
sebelumnya sudah dibahas bahwa yang dimaksud sedikit tidur dalam ayat di atas
bukan sembarang begadang, tetapi memenuhinya dengan shalat tahajjud dan
disertai istighfar. Lebih tegas lagi Allah swt menyatakan:
Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap (QS. as-Sajdah [32] :
16).
Maksud ayat ini, orang-orang yang
sedikit tidur itu bukan karena sembarang begadang, tetapi memenuhinya dengan
berdo’a kepada Allah swt. Secara spesifik para shahabat dan ulama salaf
sesudahnya menyebutkan bahwa yang dimaksud menjauhi tempat tidurnya itu adalah
untuk shalat di waktu malam, di samping menyibukkan diri dengan berdo’a. Shalat
di waktu malam yang dimaksud ada tiga: (1) Shalat ‘Isya, (2) shalat Tahajjud,
dan (3) shalat Shubuh (Tafsir Ibn Ktasir surat as-Sajdah [32] : 16).
Ketiga shalat tersebut memang
merupakan barometer keimanan seseorang. Jika imannya sempurna, maka ia mampu
melaksanakan shalat Tahajjud. Tetapi jika imannya masih minim atau dengan kata
lain munafiq (munafiq amal, bukan munafiq kafir), maka shalat ‘Isya dan
Shubuh pun selalu dilaksanakan tidak tepat pada waktunya, dan tidak
dilaksanakan secara berjama’ah di masjid (bagi laki-laki). Apalagi shalat
Tahajjud, apalagi sampai khusyu’, mengutamakan, memelihara, dan da`im
dalam semua shalatnya, semua itu tidak ada dalam agenda hariannya. Sabda
Nabi saw:
إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ
الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ
حَبْوًا
Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafiq adalah shalat
‘Isya dan Shubuh. Andai saja mereka tahu pahala yang ada pada keduanya pasti
mereka datang (ke masjid) walau harus merangkak (Shahih Muslim kitab al-masajid bab fadlli shalatil-jama’ah no.
1514).
Wal-‘Llahu a’lam
bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar