Kamis, 05 Januari 2012

Filsafat


FILSAFAT

1. Pengertian
Dari segi etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philo dari kata kerja philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta. Sophia berarti kebijaksanaan. Jadi philosophia adalah cinta akan kebijaksanaan atau pengetahuan yang benar. Orang yang cinta kebijaksanaan atau pengetahuan atau kebenaran disebut philosophos atau dalam bahasa Arab failasuf. Istilah philosophos pertama kali digunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM) sedangkan istilah falsafah dan failasuf (philosophia dan philosophos) itu sendiri baru populer dipakai pada masa Socrates dan Plato. Pengertian filsafat menurut beberapa tokoh dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Menurut Plato, ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan segala yang ada.
b. Menurut Rene Descartes, filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan, dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.
c. Menurut Al Farabi, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (Al `ilmu bil maujudat fi ma hiya almaujudat).
d. Menurut Immanuel Kant, filsafat adalah pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu :
1) Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
2) Apakah yang boleh kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
3) Sampai dimana pengharap kita? (dijawab oleh agama)
4) Apakah yang dinamakan manusia? (dijawab oleh antropologi)
e. Menurut Francois Bacon, filsafat merupakan induknya dari ilmu-ilmu dan filsafat memunyai semua pengetahuan sebagai bidangnya. Masih banyak lagi definisi-definisi tentang filsafat dengan beraneka ragam pengertian. Dari uraian diatas diranya dapat disimpulkan bahwa : “Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan memperdalam mengenai Ketuhanan, manusia dan alam semesta, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapt dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya untuk menguasai pengetahuan itu”.

2. Ciri-ciri Filsafat
Beerling menegaskan bahwa filsafat harus dianggap sebagai perbuatan yang paling radikal dalam menggunakan kesanggupan berpikir. Filosuf adalah ahli pikir yang radikal, hal ini mengandung arti bahwa berfikir merupakan ciri khas dalam berfilsafat. Namun bukan berarti bahwa setiap orang yang berfikir adalah sebagai tanda seorang filosuf. Berfikir yang bersifat filsafati ditandai dengan beberapa ciri khas, yaitu :
a. Kritis, diawali dengan mempertanyakan segala sesuatu, terutama yang berkaitan dengan problem manusia dalam kehidupannya. Jawaban dari apa yang dipertanyakan akan dipertanyakan kembali secara terus menerus, sampai pada batas jawaban yang tidak dapat dipertanyakan lagi, sampai pada pertanyaan “mengapa yang penghabisan”.
b. Radikal, istilah radikal berasal dari kata “radix” yang artinya akar. Berfikir radikal artinya berfikir sampai pada akar-akarnya yang terdalam, sampai pada intinya (nucleus) tentang hakikat (esensi) dari suatu obyek yang dipertanyakan.
c. Koheren, yaitu menyusun suatu bagan atau kerangka pemikiran yang bersifat runtut, tidak saling bertentangan (contradictio ini terminis).
d. Rasional, yaitu tersusun dalam suatu bagan yang secara logis dapat dipertanggung jawabkan secara argumentatif.
e. Komprehensif, artinya kesimpulan yang dicapai tidak bersifat parsial, sepotong-potong atau fragmentaris, melainkan bersifat menyeluruh.
f. Spekulatif, yaitu mengajukan dugaan-dugaan jauh ke depan melalui prediksi-prediksi yang disusun secara rasional.
g. Sistematis, artinya ada keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya,  sehingga membentuk kesatuan pengertian yang utuh.

3. Objek dan Cabang Filsafat
Setiap ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya filsafat, sangat ditentukan oleh objek yang diselidikinya. Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang dipermasalahkan oleh filsafat. Menurut DR. Oemar Amin Hoesin, “Karena manusia mempunyai pikiran atau akal yang aktif, maka ia mempunyai kecenderungan hendak berpikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Objek tersebut adalah menjadi objek material filsafat.”
Menurut DR. Mr. D.C. Mukler, “tiap-tiap manusia yang mulai berpikir tentang diri sendiri dan tentang tempatnya dalam dunia, akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu penting sehingga persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok.” Persoalan tersebut ada tiga macam, yaitu :
a. Apakah Allah swt dan siapakah Allah swt itu?
b. Apakah dan siapakah manusia itu?
c. Apakah hakikat dari segala realitas? (kenyataan), Apakah intisarinya? Ilmuan muslim Al Kindi (pendiri psikofisik) membagi filsafat dalam tiga lapangan :
a. Ilmu Fisika (ilmu thibiyat) sebagai tingkatan terendah
b. Ilmu Matematika (alilmur-riyadhi) sebagai tingkatan menengah
c. Ilmu Ketuhanan (ilmu-rububbiyah) sebagai tingkatan tertinggi Dari beberapa keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa, objek material filsafat adalah segala sesuatu (realita). Sedangkan “hal ada” diklasifikasikan menjadi dua macam, sebagai berikut :
a. Ada yang harus ada, yang disebut ada yang mutlak yaitu Tuhan, pencipta alam semesta.
b. Ada yang tidak harus ada, yang disebut ada yang tidak mutlak, ada yang relatif (nisbi), bersifat tidak kekal, yaitu ada yang diciptakan oleh ada yang mutlak (Tuhan). Adapun objek formal filsafat, dikatakan bersifat nonfragmentaris, karena filsafat mencari pengertian realita secara luas dan mendalam. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, maka seluruh pengalaman manusia dalam semua instansi : etika, estetika, teknik, ekonomi, sosio, budaya, religius dan lain-lain harus dibawa kepada filsafat dalam pengertian realita.

4. Kegunaan dan Keterbatasan Filsafat
Persoalan yang dihadapi manusia dari masa ke masa, menampakkan perkembangan kearah yang semakin kompleks. Yang dibicarakan filsafat dari dulu hingga kini masih berkisar pada tiga pokok masalah, yaitu : Tuhan, manusia dan alam. Akan tetapi aspek falsafati dari ketiga persoalan tersebut, terutama alam dan manusia selalu berkembang, sehingga pemikiran dalam bidang filsafat semakin banyak pula.
Filsafat muncul sebagai manifestasi dari kegiatan berpikir manusia, mempertanyakan, menganalisis sampai ke akar-akarnya mengenai hakikat dari realitas yang ada dihadapannya. Naluri manusia itulah yang menimbulkan filsafat. Berfilsafat berarti berpangkalan kepada suatu kebenaran yang fundamental. DR. Oemar A. Hoesin mengatakan bahwa “Filsafat itu memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib akan kebenaran”. Alfred North menyatakan bahwa “Filsafat adalah keinsyafan dan pandangan jauh kedepan dan suatu kesadaran akan hidup, pendeknya kesadaran akan kepentingan yang memberi semangat kepada seluruh usaha peradaban”. Rene Descartes terkenal dengan ucapannya “cogito ergo sum” (karena berpikir maka saya ada). M. MarleanPonty menyatakan “Jasa dari filsafat baru ialah terletak dalam sumber penyelidikannya,
sumber itu adalah eksistensi dan dengan sumber itu kita bisa berpikir tentang manusia”.
Melalui pemikiran filsafat manusia mungkin dapat melihat kebenaran tentang sesuatu diantara kebenaran-kebenaran yang lain. Disamping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif dan penelitian penalaran supaya kita dapat menyerasikan antara logika, rasio, pengalaman dan agama di dalam usaha manusia mencapai pencurahan kebutuhannya.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran manusia ada batasan-batasannya, tidak semua masalah dan pertanyaan dapat terjawab secara keseluruhan, adakalanya sebuah jawaban menimbulkan pertanyaan yang baru. Oleh karena itu filsafat bersifat nisbi (relatif).

5. Sumber Kebenaran Filsafat dalam Pandangan Islam
Secara prinsip Islam menempatkan filsafat dan ilmu pengetahuan di tempat yang laya dan tinggi. Bahkan banyak ayat-ayat Al Qur`an secara tegas memberi dorongan bagi pemikiran-pemikiran filosofis. Seperti dalam Firman Allah Surat Al Baqarah/2 : 269 berikut ini :

269. Allah swt menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah swt).

Hikmah disini diartikan sebagai “pengetahuan istimewa yang dianugerahkan Allah swt kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Muhammad Abduh mengartikan hikmah sebagai rahasia-rahasia dari berbagai persoalan serta pemahaman hukum-hukum dan menerangkan kemaslahatannya serta jalan (cara) yang ditempuh untuk mengamalkannya. Syekh Mustofa Al Maraghi mengatakan, “Hikmah ilmu ialah yang berfaedah yang memberikan pengaruh dalam jiwa sehingga mendorong (mengarahkan) kemauan kepada perbuatan yang diinginkannya, yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat”. Dalam buku “Ma`anil Falsafah” Dr. Ahmad Fuad Alihwani menyatakan bahwa “Filsafat adalah sesuatu yang terletak diantara agama dan ilmu pengetahuan, ia menyerupai agama pada satu sisi karena ia mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diketahui dan dipahami sebelum orang beroleh keyakinan, dan ia menyerupai ilmu pengetahuan disisi lain, karena ia merupakan sesuatu hasil daripada akal pikiran manusia, tidak hanya sekedar mendasarkan kepada taklid dan wahyu semata-mata. Dimana ilmu merupakan hasil-hasil pengertian yang terjangkau dan terbatas, agama dengan keyakinannya dapat melangkah pada garis-garis pengertian yang terbatas itu”.
Imam Al Ghazali yang semula menentang filsafat, kemudian berbalik menggunakan filsafat dalam menguraikan ilmu tasawuf. Ia menganggap besar faedahnya mempelajari filsafat, dan banyak ayat-ayat Al Qur`an menyuruh manusia berpikir mengenai dirinya dan mengenai sarwa alam untuk meyakini adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta.

Firman Allah QS. Al Ghasyiyah/88 : 17-20

17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Dari uraian ayat tersebut tampak bahwa Islam sangat menghargai penggunaan akal dan mendorong manusia untuk berpikir, tidak mencegah manusia mempelajari filsafat, bahkan memberikan anjuran untuk berpikir menurut logika dalam rangka memperkuat kebenaranyang dibawa oleh Al Qur`an.
Betapapun pentingnya mempelajari filsafat, namun harus diakui bahwa kebenaran filsafat adalah spekulatif, sebab ia berbicara tentang hal-hal yang abstrak yang tidak dapatdieksperimenkan, diuji atau diriset. Sedangkan ilmu pengetahuan, dia adalah merupakan Kebenaran positif karena dapat diuji secara empiris, tetapi kedua-duanya adalah produk akal budi manusia (rasio) yang juga bersifat nisbi. Oleh sebab itu mempelajari filsafat dalam Islambertujuan agar kita sebagai manusia dapat mengambil manfaat dari akal pikiran yangbermacam-macam itu untuk kekuatan dan kejayaan Islam itu sendiri. Kita tidak boleh mengikuti ajaran-ajaran kefalsafahan produk manusia, kemudian mempertentangkannya dengan Islam. Harus diyakini bahwa apa yang ada dalam Islam jauh lebih tinggi dan unggulserta lebih lengkap dibandingkan dengan ajaran-ajaran filsafat yang ada.

Firman Allah surat Az Zumar/39 : 18.

18. yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya*. mereka Itulah orangorang yang telah diberi Allah swt petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az Zumar/39 : 18)
* Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran karena ia adalah yang paling baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar