Kamis, 05 Januari 2012

Madzahib Fiqhiyyah fil Islam


ALIRAN-ALIRAN DALAM HUKUM ISLAM

Pada pembicaraan-pembicaraan yang telah lewat sudah disebutkan bahwa perbedaan pendapat tentang hukum-hukum Islam baru terjadi setelah Rasulullah saw wafat sebagai akibat perlunya penerapan nash-nash hukum yang telah ada, berupa Al Quran dan Hadits, terhadap peristiwa-peristiwa baru yang timbul dan memerlukan penentuan hukumnya.
Perbedaan tersebut adalah suatu hal yang wajar, karena keadaan mereka tidak sama tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap nash-nash syari’at dan tujuan-tujuannya, selain karena perbedaan tinjauan dan dasar-dasar pertimbangan dalam menganalisis sesuatu persoalan hukum.
Para Imam Mujtahid, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Bagi ilmuwan, selain imam mazhab yang empat itu, juga mereka kenal seperti Imam Daud Adz-Dzahiri, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah, dan mujtahid lainnya. Akan tetapi, untuk mengetahui pemikiran masingmasing imam mazhab itu sangat terbatas Bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu saja. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama atau guru yang menganut suatu mazhab saja.
Mengenai suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi hendaknya jangan menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak fanatik kepada satu mazhab. Untuk mengenal tokoh-tokoh, pikiran-pikiran dan pengaruhnya kepada kaum muslimin, maka perlu disebutkan secara singkat tentang mazhab-mazhab tersebut, terutama empat mazhab yang terkenal di Indonesia.

1. Imam Hanafi

a. Nama dan tempat lahir
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699M). Nama beliau yang sebenarnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah. Menurut riwayat, bahwa ayah beliau (Tsabit) dikala kecilnya pernah diajak ayahnya (Zautha) untuk mengunjungi Ali bin Abi Thalib, kemudian Ali berdoa : mudah-mudahan dari keturunannya ada orang yang menjadi golongan orang yang baik-baik serta luhur. Imam Hanafi setelah mempunyai beberapa anak, yang diantaranya ada yang diberi nama Hanifah, lalu beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan gelar : Abu Hanifah. Ini menurut satu riwayat, adapun riwayat lain sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah swt dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena kata “hanif” dalam bahasa Arab itu artinya “condong” kepada agama yang benar. Ada sebagian yang meriwayatkan bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena eratnya beliau dengan “tinta”. Karena kata “hanifah” menurut bahasa Iraq artinya adalah “dawat” atau “tinta”. Yakni beliau dimana-mana senantiasa membawa dawat atau tinta untuk menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya.

b. Kecerdasan Imam Hanafi
Kecerdasan Imam Hanafi dapat diketahui melalui pengakuan dan pernyataan para ilmuwan, diantaranya:
1) Imam Ibnu Al-Mubarak, beliau menyatakan : Aku belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih cerdik dari pada Imam Abu Hanifah;
2) Imam Ali bin Ashim berkata : Jika sekiranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal kota penduduk ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan;
3) Raja Harun Al-Rasyid pernah berkata : Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya;
4) Imam Abu Yusuf berkata : Aku belum pernah bersahabat dengan seorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah. Terlepas dari pernyataan diatas, kita pun tentu dapat membayangkan bahwa bagaimana mungkin beliau dikenal sebagai seorang mujtahid, bila tidak memiliki kecerdasan dan pandangan luas dalam menetapkan suatu hukum.

c. Kepandaian Imam Hanafi tentang Fiqh
Imam Hanafi dikenal sangat rajin dalam menuntut ilmu. Mula-mula ia mempelajari hokum agama, kemudian ilmu kalam. Imam Hammad bin Abi Sulaiman adalah seorang guru beliau yang sering mewakilkan kepada beliau dalam mengajarkan agama dan memberikan fatwa.
Kepercayaan ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam mengupas masalah fiqh. Imam Malik pernah ditanya orang : Pernahkah anda melihat Imam Abu Hanifah? Jawabnya : “Ya, saya pernah melihatnya, ia adalah seorang laki-laki. JikaAnda berkata tentang tiang ini supaya ia jadikan emas, niscaya ia akan memberikan alasan-alasannya.” Imam Syafi’I pernah berkata : ‘Manusia seluruhnya adalah menjadi keluarga dalam fiqh dan menjadi anak buah Imam Abu Hanifah.”
Pernyataan Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang kepandaian Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh, sudah cukup dijadikan alasan, bahwa betapa luas pandangan beliau dalam mengupas hukum-hukum Islam.

d. Kepandaian Imam Hanafi tentang Ilmu Hadits
Dalam menetapkan hukum, beliau menggunakan Al Quran dan Hadits. Hal ini sengaja ditekankan supaya tidak ada kesan bahwa beliau kurang memperhatikan sunah rasul, sarena beliau dijuluki “ahlu al-Ra’yi”.
Menurut Imam Abu Yusuf, saya belum pernah melihat seorang yang lebih mengerti tentang Hadits dan tafsirnya, selain Abu Hanifah. Ia tahu akan ‘illah-’illah Hadits, mengerti tentang ta’dil dan tarjih, mengerti tentang tingkatan-tingkatan Hadits yang sah dan tidak.
Imam Hanafi sendiri pernah berkata : “Jauhilah oleh kamu memperkatakan urusan agama Allah swt menurut pendapat sendiri, tidak menurut Hadits-Hadits nabi. Beliau memang sangat selektif terhadap Hadits, sehingga Hadits yang dianggap lemah, beliau tinggalkan dan lebih mengutamakan rasio (analogi atau qiyas).”

e. Dasar-dasar Mazhab Imam Hanafi
Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum adalah:
1) Al Quran,
2) Hadits,
3) Fatwa sahabat/ijma’,
4) Qiyas,
5) Istihsan, dan
6) ‘Urf
Mazhab Hanafi dapat tersebar luas di negeri Islam bagian timur pada abad-abad pertengahan berkat kekuasaan imam Abu Yusuf sebagai Hakim Agung di Bagdad dan sebagai akibat pengutamaan Khalifah-khalifah Abasiyah terhadap mazhab-mazhab tersebut dalam lapangan pengadilan. Untuk negeri Magribi mazhab tersebut dipakai sampai hampir tahun 400H, sehingga dapat menguasai kepulauan Silsilia. Pada waktu sekarang mazhab tersebut mendapat pengikut yang banyak sekali di India dan merupakan mazhab yang berkuasa di Turki.
Mazhab tersebut mulai masuk negeri Mesir pada permulaan masa Abassi, dan kemudian mendapat desakan-desakan dari mazhab-mazhab Maliki dan Syafi’i. Kemudian mazhab Hanafi tersebut dijadikan pegangan peradilan di Mesir sampai sekarang meskipun dengan beberapa perubahan yang diambilkan dari mazhab-mazhab yang lain.

f. Pesan-pesan Imam Hanafi
Beliau berpesan mengenai taqlid antara lain:
1) haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku memberi fatwa dengan perkataanku.
2) ini hanya sekedar pendapat Abu Hanifah, maka siapa saja yang datang kepadaku dengan pendapat (hasil ijtihad) yang lebih baik dari pada pendapatku niscaya akan kuterima. Pesan beliau tentang bid’ah antara lain :
a) jauhilah perbuatan bid’ah, mencari-cari bid’ah dan melampaui batas dalam urusan agama. Dan hendaklah kamu mengikuti perkara-perkara yang permulaan sekali yakni mengikuti Nabi Muhammad saw;
b) Hendaklah kamu mengikuti sunah Nabi saw dan menjauhi semua perkara-perkara baru, sebab perkara yang baru dalam urusan ibadah adalah bid’ah.

2. Imam Malik Bin Anas (93-179 H)

a. Nama dan Tempat Lahir
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah daerah kota Hijaz, pada tahun 93 H (712 M). Nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah lalu berdiam di sana. Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi Muhammad saw selain perang Badar. Pada masa Maliki dilahirkan, pemerintahan Islam ada ditangan kekuasaan kepala Negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayyah yang ketujuh). Kemudian setelah beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal dimana-mana, pada masa itu pula penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui oleh sebagian kaum muslimin. Buah hasil ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan Mazhab Imam Malik.
b. Kepandaian Imam Malik
Kepandaian Imam Malik dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya, seperti pernyataan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa : “Beliau tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih alim dari pada Imam Malik.” Bahkan Imam Al-Laits bin Sa’ad pernah berkata, bahwa pengetahuan Imam Malik adalah pengetahuan orang yang takwa kepada Allah swt dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil pengetahuan. Imam Yahya bin Syu’bah berkata : ”Pada masa itu tidak ada seorang yang dapat menduduki kursi mufti di Masjid Nabi saw selain Imam Maliki. Karena kepandaian Imam Malik, maka terkenallah beliau sebagai seorang ahli kota Madinah dan terkenal pula sebagai imam di negeri Hijaz.

c. Dasar-dasar Mazhab Imam Malik
Dasar-dasar hukum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Malik dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1) Kitab Allah swt (Al Quran).
2) Hadits Rasulullah saw yang ia pandang sah.
3) Ijma’ para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak Hadits apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4) Qiyas.
5) Maslahah Mursalah.

d. Cara Imam Malik Memberi Fatwa
Imam Malik adalah seorang yang terkenal ulama besar, beliau sangat hati-hati dan teliti
dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan riwayat yang dikatakan Hadits dari Rasulullah saw Ringkasnya bahwa cara-cara beliau memberi fatwa bisa dilihat dari cara beliau memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan beliau.
Imam Syafi’i berkata : “Sungguh aku telah menyaksikan Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak empat puluh delapan masalah, beliau menjawab : “Saya belum tahu.” Dari pertanyaan ini jelaslah, bahwa beliau adalah seorang yang amat berhati-hati menjawab masalah yang bertalian dengan hukum-hukum keagamaan dan beliau tidak terburu-buru memberi jawaban terhadap masalah yang memang belum diketahui hukumnya oleh beliau. Beberapa ulama meriwayatkan, bahwa Imam Malik berkata : “Saya tidak memberi fatwafatwa dan meriwayatkan Hadits, sehingga tujuh ulama membenarkan dan mengakui.” Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain setelah disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama, dan mereka menetapkan sepakat, bahwa beliau seorang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya itu.

e. Nasihat Imam Malik Terhadap Taqlid
Sebagai seorang mufti besar dan seorang Alim, ahli Hadits beliau tidak pernah mengajarkan atau bimbingan kepada muridnya untuk mengekor (bertaqlid) terhadap pendapat atau buah hasil penyelidikan beliau, bahkan sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal dan haram dan sangat melarang bertaqlid buta dan sebagai bukti di bawah ini ada beberapa pesan beliau.
Imam Malik pernah berkata : Saya seorang manusia dan saya terkadang benar dan terkadang saya salah, oleh karena itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, jika sesuai dengan Al Quran dan sunah maka ambillah dia dan jika tidak sesuai maka tinggalkanlah. Artinya, bahwa jika beliau menjatuhkan hukuman dalam masalah keagamaan dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash Al Quran dan sunah, maka masing-masing kita disuruh untuk melihat dan memperhatikannya kembali dengan baik tentang buah pikiran beliau itu. Maksudnya semua pikiran yang dituangkannya, terlebih dahulu harus dicocokkan dengan nash Al Quran dan sunah. Pada suatu waktu beliau juga pernah mengatakan bahwa : “Tidaklah semua perkataan itu lalu diikuti sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan.” Kita tidak mesti mengikuti perkataan orang dengan sembarangan meskipun orang itu mempunyai kelebihan, ketinggian derajat atau terpandang mulia. Kalau perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi hukum-hukum Rasulullah saw, maka kita diperbolehkan untuk tidak mengikutinya.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kita dilarang bertaqlid kepada pendapat-pendapat dan perkataan yang memang nyata tidak sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Al Quran dan sunah. Demikian nasihat Imam Malik dalam masalah bertaqlid.

f. Nasihat Imam Malik Masalah Bid’ah
Beliau sangat keras terhadap bid’ah dan ahli bid’ah, antara lain beliau pernah bersyair yang artinya “Sebaik-baik urusan agama itu adalah orang yang mengikuti sunah Nabi saw dan sejelek-jelek urusan agama itu adalah perbuatan yang baru. Artinya bahwa sebaik-baik urusan agama mengenai peribadatan adalah yang mengikuti sunah Nabi saw dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari nabi dan tidak pula dikerjakan oleh Nabi saw.
Pada kesempatan yang berbeda beliau pernah berkata : “Barang siapa yang mengada-ada suatu perbuatan baru dalam urusan Islam dan ia telah menganggap bahwa perbuatan itu baik, maka sesungguhnya berarti ia telah menuduh bahwa Nabi saw telah menyembunyikan risalahnya, padahal Allah swt telah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 3:

3. diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[394] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
[395] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
[396] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
[397] Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
[398] Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.

Oleh sebab itu, apapun yang tidak menjadi agama pada masa itu, tidak akan menjadi agama pada masa yang lain. Artinya bahwa orang yang memandang perbuatan yang baru itu baik, berarti tidak menganggap bahwa nabi tidak sempurna dalam menyampaikan risalahnya kepada umat manusia.
Dari riwayat diatas jelaslah bahwa Imam Malik sangat keras terhadap bid’ah dalam urusan agama. Demikianlah beberapa nasihat beliau tentang bid’ah.

g. Murid-muridnya
Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Imam Syafi’i (wafat 204 H), yang kemudian mendirikan mazhab sendiri. lbnu Wahab (wafat 197 H) yang menyiarkan mazhab Imam Maliki di Mesir dan negeri-negeri Magribi. lhnul Qasim (wafat 191 H) yang menyiarkan mazhab tersebut di Mesir dan yang membukukan mazhab tersebut. Asyhab (wafat 204 H) dan Ibnul Furut (wafat 213 H) yang menyiarkan mazhab tersebut di negeri Magribi. Selain negeri-negeri tersebut, negeri Andalusia dan Sudan pada masa itu telah menggunakan/melaksanakan mazhab Imam Malik sampai sekarang.

3. Imam Syafi’i

a. Nama dan Tempat Lahir
Imam Syafi’i dilahirkan di Guzzah, suatu kampung dalam jajahan Palestina, masih wilayah Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan di sana. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Syaib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Dengan silsilah ini jelaslah bahwa beliau itu adalah dari keturunan bangsa Arab Quraisy, dan keturunan beliau bersatu dengan keturunan Nabi saw pada Abdul Manaf dan Hasyim yang tersebut dalam silsilah tersebut.

b. Kepandaian Imam Syafi’i
Kecerdasan Imam Syafi’i dapat kita ketahui melalui riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i pada usia 10 tahun sudah hapal dan mengerti kitab Almuwatha’, Kitabnya Imam Malik. Karena itulah ketika beliau belajar ilmu Hadits kepada Imam Sofyan bin Uyainah, beliau sangat dikagumi oleh guru besar ini dan selanjutnya beliau dapat menempuh ujian ilmu Hadits serta lulus mendapat ijazah tentang ilmu Hadits dari guru besar tersebut. Imam Syafi’i setelah berumur 15 tahun diberi izin oleh gurunya untuk mengajar dan memberi fatwa kepada khalayak ramai, dan beliaupun tidak keberatan untuk nenduduki jabatan sebagai guru besar dan mufti di dalam Masjid Al-Haram dan sejak itulah beliau terus memberi fatwa. Akan tetapi meskipun demikian, beliau tetap belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan di Makkah, dan semenjak itu pula orang-orang berdatangan kepada Imam Syafi’I dan orang yang berdatangan itu tidak sembarangan orang, tetapi terdiri dari para ulama, ahli syair, ahli sastra Arab, dan orang-orang terkemuka, karena dada beliau pada waktu itu telah penuh ilmu-ilmu.
Kepandaian Imam Syafi’i dalam bidang fiqh, terbukti dengan kenyataan ketika beliau berusia 15 tahun, sudah termasuk orang alim ahli fiqh di Makkah dan sudah diikutsertakan dalam majelis fatwa dan lebih tegas lagi beliau disuruh menduduki kursi mufti. Kepandaiannya dalam bidang ilmu Hadits dan tafsir dapat kita ketahui, ketika beliau masih belajar kepada Imam Sofyan bin Uyainah di kota Makkah. Pada waktu itu beliau boleh dikatakan sebagai seorang ahli tafsir. Sebagai bukti pula bahwa apabila Imam Sofyan bin Uyainah pada waktu mengajar tafsir Al Quran menerima pertanyaan-pertanyaan tentang tafsir yang agak sulit, guru besar segera berpaling kepada beliau dulu, lalu berkata kepada orang yang bertanya : “Hendaknya kamu bertanya kepada pemuda ini, sambil menunjuk tempat duduk Imam Syafi’i.”
Selain kepandaiannya dalam bidang fiqh dan tafsir, beliau juga seorang alim dalam bidang Hadits, karena sebelum beliau dewasa sudah hapal kitab Muwatha’. Dari uraian diatas kiranya cukup menjadi bukti tentang kepandaian beliau dalam bidang ilmu agama.

c. Dasar-dasar Mazhab Syafi’i
Dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya adalah termaktub dalam kitabnya Arrisalah dan Alumm, yaitu sebagai berikut :
1) Al Quran.
2) Hadits yang shahih.
3) Ijma’.
4) Qiyas.
5) Istidlal (istishab).
Imam Syafi’i adalah pakar yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menetapkan hukum, sehingga beliau tidak segan-segan untuk mengubah penetapan hukum yang semula ia telah lakukan untuk menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubah keadaan lingkungan yang dihadapi. Karena pendirian beliau yang demikian itu, maka muncullah apa yang disebut qaul qadim sebagai hasil ijtihadnya yang pertama dan qaul jadid sebagai pengubah keputusan hukum yang pertama. Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi’i itu terungkap dalam beberapa masalah, antara lain sebagai berikut :

1) Bersambung (muwalah) dalam berwudhu.
a) Qaul Qadim : Bersambung (muwalah) dalam berwudhu hukumnya wajib, karena beralasan bahwa huruf wawu dalam ayat 6 Surat Al Maidah menunjukkan harus berurutan dan beriringan satu sama lainnya sampai selesai.
b) Qaul Jadid : Bersambung (muwalah) dalam berwudhu itu hukumnya sunat, karena berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw pernah berwudhu dan menunda membasuh kaki beliau.

2) Hukum shalat orang yang terdapat najis yang tidak dapat dimaafkan, sedangkan dia tidak tahu.
a) Qaul Qadim : Tidak wajib mengqadha shalat.
b) Qaul Jadid : Wajib mengqadha shalat, karena suci dalam shalat itu hukumnya wajib. Hukum wajib tidak bisa gugur, karena tidak tahu ada najis, sebagaimana halnya wajib bersuci dari hadas.

3) Habis waktu Magrib
a) Qaul Qadim : Waktu magrib habis setelah hilang mega merah.
b) Qaul Jadid : Waktu magrib habis, kira-kira cukup waktu untuk berwudhu, menutup aurat, azan dan iqamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (maghrib dan sunat ba’diyah) yang dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa. Dan sebagainya (ini hanya merupakan contoh saja).

d. Kitab-kitab Karangan Imam Syafi’i
Kitab yang pertama kali ditulis oleh Imam Syafi’i ialah kitab Ar-Risalah yang ditulis di Makkah atas permintaan Abdur Rahman bin Mahdi. Kemudian di Mesir beliau menyusun kitab Al `Umm, Al `Amali, dan Al Imlak. Salah satu jasa Imam Syafi’i dalam lapangan hukum Islam ialah bahwa ia telah menciptakan ilmu usul-fiqh, sebagaimana yang telah dibukukan dalam kitabnya yang bernama “Ar-Risalah”. Dengan adanya ilmu tersebut, maka cara-cara melakukan ijtihad dan pengambilan alasan hukum Islam sudah ditentukan jalannya, untuk menghindari kekacauan dan kesimpangsiuran sedapat-dapatnya. Karya Imam syafi’i lain yang besar ialah kitab Al `Umm yang menjadi pegangan utama dalam mazhab Syafi’i.
Al-Buwathi mengihtisarkan kitab-kitab As-Syafi’i dan menamakannya dengan nama “Al- Muhtashar Al-Buwaithi” dan juga oleh Al-Muzani mengihtisharkan kitab-kitab tersebut dengan nama “Al-Muhtashar Al-Muzani”.

e. Murid-murid Imam Syafi’i
Diantara murid-muridnya yang di Makkah ialah Ibnu Abil Jarud, di Iraq ialah Az-Za’farani (wafat 260 H) dan Abu Al-Karbisi (wafat 245 H), di Mesir Al-Buwaithi (wafat 234 H), Al-Muzani (wafat 264 H) dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Muradi (wafat 270 H). Imam Syafi’i aktif menyiarkan sendiri mazhabnya di Iraq dan di Mesir, yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya. Pada akhirnya mazhab tersebut dapat mendesak mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, bahkan untuk negeri Mesir bawah, Syam, beberapa negeri Yaman, Hijaz, Asia Tengah, dan Indonesia merupakan mayoritas bermazhab Syafi’i.

f. Pesan-Pesan Imam Syafi’i

1) Tentang Taqlid
a) Jika kamu berpendapat bahwa perkataanku menyalahi sabda Rasulullah saw maka amalkan sabda Rasulullah saw dan lemparkan saja perkataanku ke luar pagar.
b) Berkata Imam Syafi’i kepada Rabik (muridnya) : “Janganlah engkau bertaqlid kepadaku tentang tiap apa yang aku katakan, melainkan engkau sendiri harus menyelidiki perkara itu, karena hal itu mengenai agama.”
c) Jika suatu Hadits ternyata sahih, maka itulah mazhabku.
d) Tidak halal bertaqlid kepada seseorangpun selain kepada Nabi saw.

2) Tentang bid’ah
Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang sesat, yaitu perkara yang diada-adakan dengan menyalahi Al Quran atau Hadits atau ijma’ atau atsar (keterangan sahabat). Dan kedua bid’ah yang tidak sesat, yaitu perkara yang diada-adakan dengan tidak menyalahi sedikitpun dari semuanya itu (Yang dirnaksudkan dengan bid’ah yang tidak tercela atau tidak sesat disini ialah yang diada-adakan dengan cara baru tetapi mengenai urusan keduniaan semata-mata. Adapun yang mengenai urusan ibadah, maka itulah bid’ah yang tercela dan tersesat).
Terhadap ahli bid’ah, Imam Syafi’i berkata :
“Barang siapa menganggap baik, maka sesungguhnya ia telah membuat syara’ atau peraturan agama (yakni, siapa yang menganggap baik suatu amalan ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi saw dan tidak ada pula perintahnya, maka dengan perbuatannya itu berarti ia mengada-adakan syara’ atau aturan agama sendiri.” Terhadap perkataan Syafi’I  ang demikian itu, seorang alim terkemuka berkata : sebagai tambahan atas perkataan beliau tersebut : Barang siapa mengada-adakan syar’, maka kufurlah ia).

3) Tentang lain-lain
a) Ilmu itu malu terhadap orang yang tidak mempunyai perasaan malu kepadanya (maksudnya, ilmu akan tetap jauh dari orang yang tidak suka menuntut ilmu).
b) Ilmu adalah pemimpin bagi amal, dan amal adalah pengikutnya, juga amal adalah buahnya. Amal sedikit beserta ilmu lebih utama dari pada amal yang banyak beserta kebodohan.
c) Siapa rela terhadap yang telah ada, tentulah lenyap dari orang itu sifat nista, (yakni, siapa telah memiliki sifat qanaah, dia akan terhindar dari sifat tamak dan rakus).
d) Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengarkan perkataan yang keji, karena sesungguhnya yang mendengarkan perkataan yang keji bersekutu dengan yang mengucapkannya.

4. Imam Ahmad Bin Hambali (164 H-241 H)

a. Nama dan Tempat Lahir
Imam Hambali nama lengkapnya ialah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibnu Hambali bin Hilal Abdahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahandanya bernama Muhammad As-Syaibani, sedangkan ibunya bernama Syari binti Maimunah binti Abdul Maliki bin Sawadah binti Hindun As-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah) dan golongan terkemuka kaum Bani Amir.

b. Kepandaian Imam Hambali
Imam Hambali sejak masih muda sudah kelihatan kecintaannya terhadap Hadits Nabi saw dan sebagai bukti yang menunjukkan kecintaannya itu adalah kepergian beliau ke berbagai negeri dalam rangka mencari orang-orang yang meriwayatkan Hadits-Hadits dari nabi saw, bahkan tidak jarang beliau pergi ke suatu negara atau kota ketika beliau mendengar berita bahwa seorang ahli tentang riwayat dari Hadits nabi saw, tanpa menghiraukan kepayahan dan kesulitan yang akan ditempuhnya.
Karena kecintaannya beliau terhadap Hadits, beliau amat keras tegurannya kepada orangorang yang mengaku muslim tetapi berani mengerjakan bid’ah di dalam agamanya. Juga beliau seringkali membicarakan orang-orang yang mengaku ulama tetapi perbuatan yang dikerjakannya banyak menyalahi sunah Nabi saw, maka pada saat itu beliau dikenal sebagai seorang yang alim yang sangat mahir tentang urusan Hadits-Hadits nabi saw. Menurut riwayat Imam Abu Zur’ah seorang ahli Hadits yang semasa dengan Imam Hambali, menyatakan : “Bahwa Imam Hambali itu telah hafal satu juta Hadits”. Lalu ia ditanya oleh orang : Bagaimana
engkau mengerti itu? Abu Zur’ah berkata : karena aku pernah berunding dengan dia dan aku mengambil beberapa bab darinya. Selanjutnya ia ditanya orang lagi : Apakah engkau lebih hafal
Imam Syafi’i yang pernah menjadi gurunya Imam Ahmad berkata kepada muridnya : Engkau lebih tahu dan lebih mengerti tentang Hadits-Hadits nabi daripada saya, oleh karena itu jika terdapat Hadits shahih sampaikanlah kepada saya, saya akan mencarinya di mana saja Hadits itu berada.
Demikianlah beberapa riwayat yang menyatakan tentang kepandaian Imam Hambali.

c. Dasar-dasar mazhabnya
Dasar-dasar dalam berpendapat adalah didasarkan atas Al Quran, kemudian As-sunah yang sahih dan yang dipandangnya sebagai juru penerang Al Quran. Apabila tidak terdapat dalam sunah yang sahih, maka dicarinya dalam fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan sahabat, apabila tidak diperselisihkan, apabila diperselisihkan maka dipilih pendapat sahabat yang lebih mendekati Al Quran dan Hadits. Apabila dalam pendapat sahabat tidak didapati, maka dipakailah Hadits-Hadits mursal atau Hadits dha’if yang tidak terlalu lemah, dan kemudian lebih mengutamakan Hadits mursal atas qiyas, karena hanya dalam keadaan terpaksa saja ia menggunakan qiyas, sedang keadaan terpaksa ini tidak akan terdapat, kalau masih ada Hadits yang dipertalikan kepada rasul saw, meskipun Hadits mursal atau dha’if. Bagi Imam Ahmad, Hadits dha’if lebih disenangi daripada pendapatnya sendiri (qiyas).
Jadi dasar-dasar beliau dalam berpendapat dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Al Quran.
2) Hadits nabi.
3) Fatwa sahabat.
4) Pendapat sebagian sahabat.
5) Hadits Mursal atau Hadits dha’if.
6) Qiyas, beliau memakai qiyas apabila tidak didapati ketentuan hukum pada sumber-sumber hukum yang disebutkan pada point 1-5 di atas.

d. Pesan-pesan Imam Hambali

1) Tentang taqlid
a) Selidikilah perkara agamamu, karena sesungguhnya taqlid kepada orang yang tidak ma’shum itu tercela dan membuta-tulikan hati nurani. (Orang yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan hanya nabi atau rasul saw).
b) Tercela sekali orang yang telah diberi pelita untuk dijadikan penerangan, tetapi ia sendiri memadamkan pelita itu lalu ia berjalan bergantung pada orang lain. (Maksudnya orang yang mematikan atau membekukan akalnya lalu taqlid kepada pendapat orang lain).
c) Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, jangan pula kepada Auza’i, jangan kepada Nakha’i dan jangan pula taqlid kepada mereka. Ambillah hukum langsung dari mana mereka mengambil (yakni Al Quran dan Hadits rasul saw).

2) Tentang bid’ah
Pokok pangkal sunah itu bagiku, ialah memegang dan mengikuti dengan kuat apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat nabi, dan meninggalkan perbuatan bid’ah karena tiap-tiap bid’ah dalam perkara agama itu sesat. Dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan pesan-pesan tersebut diatas, para imam pendiri mazhab mempunyai pendirian yang sama mengenai dua hal, yaitu sebagai berikut.
a) Mereka melarang siapapun mengikuti pendapat mereka secara taqlid. Taqlid adalah haram, kata Abu Hanifah, sedang Syafi’i mengatakan taqlid adalah halal. Sedangkan kata Imam Ahmad taqlid adalah sangat tercela dan membabi buta hati nurani. Satusatunya taqlid yang dapat dibenarkan adalah taqlid kepada Nabi saw kata Imam Malik.
b) Mereka melarang kepada siapapun yang mengerjakan bid’ah dalam perkara agama, menurut Imam Malik, mengerjakan bid’ah berarti menuduh Muhammad saw menyembunyikan risalahnya, padahal Allah swt sendiri telah mengakui kesempurnaan Islam. Sedangkan menurut Imam Syafi’i menyatakan bahwa mengadakan bid’ah berarti membuat agama sendiri. Menurut beliau memang ada bid’ah yang tidak sesat, yaitu dalam perkara dunia.

E. KESATUAN MAZHAB DALAM HUKUM ISLAM
Perbedaan pendapat yang bisa dikatakan menimbulkan mazhab ialah “perbedaan pokok” yakni yang berpangkal pada perbedaan pendirian terhadap sumber-sumber hukum itu sendiri, seperti perbedaan antara fuqaha Dhahiri yang mengakui kebolehan “riba pada pertukaran beras (dengan jumlah lebih pada salah satunya), dan kebolehan ini didasarkan atas “kebolehan asal” (ibahah asliyah), sedangkan jumhur fuqaha menganggap haramnya riba tersebut, karena mereka mendasarkan pendapatnya pada qiyas, yakni mempersamakan beras dengan gandum yang sudah ada ketentuannya dalam Hadits. Dalam hal ini masing-masing pendapat bisa dianggap sebagai mazhab.
Kalau perbedaan pokok menjadi kriteria (ciri khas) mazhab, maka perbedaan-perbedaan pendapat yang terdapat antara empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) seharusnya tidak perlu menimbulkan mazhab-mazhab yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain, karena dasar-dasar dalam mazhab-mazhab tersebut sebenarnya sama, dan perbedaan yang terjadi antara mereka hanya berpangkal pada pemahaman, pertimbangan, tinjauan dan cara-cara pengambilan hukum dari sumber-sumbernya. Masing-masing dari mazhab empat tersebut memakai Al Quran, Hadits, ijma’, qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah, meskipun kadang-kadang terjadi selisih pendirian mengenai perincian-perincian kecil sekitar sumber-sumber tersebut.
Dengan demikian, apabila kita teliti benar-benar, maka perbedaan pendapat antara imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i atau Imam Malik, tidak berpangkal pada dasar-dasar hukum. Bahkan pada garis besarnya cara-cara pengambilan hukum pun tidak banyak berbeda.
Penggabungan Imam-imam Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar dengan Imam abu Hanifah tidak lain adalah karena mereka berguru dan bergaul dengannya, menyiarkan pendapat-pendapatnya dan menyatakan persetujuan pendiriannya dengan pendapatpendapat tersebut. Imam Syafi’i sendiri pada mulanya adalah pengikut Imam Malik dan baru memisahkan diri dan dianggap memisahkan diri dengan mengemukakan mazhab baru, setelah ia mementingkan untuk menjelaskan pendapat-pendapatnya sendiri kepada orang banyak.
Demikian pula halnya dengan Abu Tsaur dan At-Thabari (mazhab-mazhab fiqhnya sudah musnah) pengikut mazhab Syafi’i. Dengan berpijak pada kesamaan dasar hukum, maka perbedaan pendapat tersebut tidak lebih dari pada perbedaan pendirian yang terjadi antara mazhab-mazhab tersebut dan dengan demikian maka sumber-sumber hukum yang dipegang adalah sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar