Mencintai Nabi saw dengan
Benar
Mencintai Nabi saw lebih
dari mencintai diri sendiri dan keluarga merupakan aqidah yang sangat mendasar
bagi seorang muslim. Akan tetapi tidak sedikit kaum muslimin yang tulus
mencintai Nabi saw dengan cinta yang salah kaprah. Jadinya cinta pun bertepuk
sebelah tangan.
Beberapa ulama salaf ada
yang sudah mengingatkan persoalan cinta bertepuk sebelah tangan ini melalui
pernyataan:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ
Yang pokok itu
bukan klaim ‘mencintai’, tetapi yang pokok itu adalah fakta bahwa kita
‘dicintai’ (Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 31).
Pernyataan
tersebut dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tasfirnya terkait firman
Allah swt:
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS. Ali ‘Imran [3] : 31).
Ibn Jarir at-Thabari mengemukakan beberapa
riwayat tentang sababun-nuzul (latar belakang historis turun) ayat ini,
dimana ada beberapa orang yang datang kepada Nabi saw dan mereka menyatakan: “Sungguh
kami benar-benar cinta kepada Allah.” Tidak lama dari itu maka turunlah
ayat ini. Riwayat lainnya, beberapa orang Kristen Najran pernah menyatakan hal
yang serupa di hadapan Nabi saw. Tetapi mereka juga bersikukuh dengan
pengkultusannya kepada Nabi ‘Isa/Yesus dan pada agama Kristen mereka. Maka Nabi
saw pun membacakan ayat ini. Sementara itu, Wahbah az-Zuhaili mengutip
pernyataan Ibn ‘Abbas yang menjelaskan bahwa ayat ini duturunkan terkait
pengakuan orang Yahudi dan Kristen sebagaimana dikemukakan Allah swt dalam QS.
Al-Ma`idah [5] : 18: Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini
adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka
mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak
Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara
orang-orang yang diciptakan-Nya.
Dari sejumlah
riwayat ini maka Ibn Katsir memberikan catatan: “Ayat yang mulia ini memutuskan
bahwa siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, tapi tidak menggunakan thariqah
Muhammadiyyah (jalannya Nabi Muhammad saw), maka sesungguhnya ia batal
dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at Muhammad dan agamanya dalam
seluruh perkataan dan perbuatannya. Sebagaimana telah dikemukakan Rasulullah saw
dalam salah satu riwayat yang shahih: ‘Siapa yang beramal satu amal yang
tidak ada padanya perintah kami, maka amal itu pasti ditolak.”
Artinya, klaim
cinta kepada Allah swt juga kepada Nabi saw, semuanya bisa dinyatakan tidak
benar jika tidak sampai ittabi’uni; mengikuti ajaran yang ditetapkan
Nabi saw. Terlebih jika klaim cinta tersebut malah disertai dengan pengamalan
beberapa amalan yang sama sekali tidak pernah digariskan oleh Nabi saw,
meskipun sang pengamal mengklaim bahwa amal-amalan tersebut baik atau sangat
baik. Semuanya akan tertolak; fa huwa raddun.
Shahabat Anas
ibn Malik meriwayatkan: Ada tiga orang shahabat Nabi saw datang bertamu ke
rumah Nabi saw. Sebelum mereka diterima oleh Nabi saw, mereka bertanya kepada
istri beliau tentang ibadah beliau saw. Istri Nabi saw pun memberitahukan bahwa
Nabi saw rajin shaum di siang hari, tetapi tetap buka di malam hari. Nabi saw
rajin shalat Tahajjud di setiap malam, tetapi tetap menyisakan sedikit waktunya
untuk tidur malam. Nabi saw pun menjauhi zina dalam level kecil sekalipun,
tetapi beliau tetap menikahi beberapa istri. Setelah diberitahu seperti itu,
mereka menganggap bahwa amal-amal tersebut terlalu sedikit untuk ukuran mereka.
Untuk level Nabi saw yang sudah dijamin diampuni dosanya, mungkin itu sudah
cukup. Tetapi untuk level mereka yang belum pasti diampuni dosanya, amal
tersebut terlalu sedikit dan harus ditambah lagi. Mereka pun bertekad untuk
menambah amal-amalan yang melebihi amal yang dicontohkan Nabi saw. Tetapi rupanya
Nabi saw yang mendengar obrolan mereka dari dalam malah memarahi mereka.
قَالَ أَنَسُ بْنُ
مَالِكٍ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ
النَّبِيِّ
يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا
وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا
تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ
آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ
فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ
كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي
أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Anas
ibn Malik berkata: Ada tiga orang yang datang ke rumah istri Nabi saw untuk
bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika mereka diberitahu mereka menganggapnya
remeh, sambil berkata: "Kita tidak sama dengan Nabi saw. Beliau sudah
diampuni dosanya baik yang lalu atau yang akan datang." Kata salah
seorang dari mereka: "Aku akan shalat malam selamanya semalam
suntuk." Kata yang satunya lagi: "Aku akan shaum selama
mungkin dan tidak berbuka." Kata yang satunya lagi: "Aku akan
menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya." Lalu Rasulullah saw
datang dan bersabda: "Kalian yang tadi ngomong seperti ini! Demi Allah,
aku ini orang yang paling takut dan taqwa kepada Allah, tapi aku shaum dan
buka, aku shalat malam dan tidur, dan aku menikah. Siapa yang tidak senang
pada sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku." (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah
bab at-targhib fin-nikah no. 5063)
Artinya, siapa
saja yang menilai amal yang dicontohkan Nabi saw terlalu sedikit dan tidak
cukup, maka itu berarti sudah membenci sunnah Nabi saw. Itu juga berarti bahwa
ia sudah bukan bagian dari umat Nabi saw. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.
Imam Muslim
meriwayatkan, seorang shahabat bernama Rabi’ah ibn Ka’ab al-Aslami, saking
cintanya kepada Nabi saw, bermalam di rumah Nabi saw dan menyediakan air untuk
keperluan wudlu dan buang air Nabi saw. Suatu saat Nabi saw menyuruhnya untuk
meminta. Tetapi ia hanya meminta untuk bisa menemani Nabi saw di surga.
قَالَ رَبِيعَةُ بْنُ كَعْبٍ الأَسْلَمِىُّ كُنْتُ أَبِيتُ
مَعَ رَسُولِ اللهِ r فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِى سَلْ.
فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِى الْجَنَّةِ. قَالَ أَوَغَيْرَ ذَلِكَ. قُلْتُ
هُوَ ذَاكَ. قَالَ فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
Rabi’ah ibn
Ka’ab al-Aslami berkata: Aku bermalam bersama Rasulullah saw. Aku menyediakan
air wudlu dan untu keperluan buang airnya. Nabi saw lalu bersabda kepadaku: “Mintalah
kamu!”Aku jawab: “Aku minta agar aku bisa menemaniu di surga.” Sabda
Nabi saw: “Ada yang lain?” Aku jawab: “Hanya itu.” Nabi saw
bersabda: “Maka bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan memperbanyak
sujud.” (Shahih Muslim bab fadllis-sujud wal-hatstsi ‘alaih no.
1122)
Imam an-Nawawi
menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa memperbanyak sujud di sana artinya
“di dalam shalat”. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram memasukkan hadits
tersebut dalam bab shalat sunat. Artinya jika benar mencintai Nabi saw dan
ingin menemaninya di surga, perbanyaklah shalat sunat. Shalat sunat yang
tentunya disunnahkan Nabi saw.
Artinya, cinta
Nabi saw yang benar adalah dengan fokus kepada sunnah dan ibadah-ibadah sunat
yang telah dicontohkannya, yang jumlahnya sangat banyak. Bukan pada menambah
amal-amal lain melebihi sunnnahnya. Sebab sebagaimana dinyatakan dalam hadits
lain:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِنْ السُّنَّة
مِثْلُهَا ؛ فَتَمَسُّكٌ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ إِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
Tidaklah satu
kaum membuat bid’ah melainkan akan dicabut sunnah yang semisalnya. Maka
memegang teguh sunnah itu lebih baik daripada membuat bid’ah (Musnad Ahmad bab hadits Ghadlif ibn al-Harits no. 17011. Menurut
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida`
bi sunani Rasulillah saw, hadits ini sanadnya jayyid).