Antara Syi’ah dan ‘Asyura
‘Asyura adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Bagi sekte Syi’ah, hari ini adalah
hari raya yang harus diperingati dengan kesedihan yang didramatisir; tubuh
dilukai secara sengaja, sambil menangis meronta-ronta, berteriak histeris,
secara berjama’ah, atau minimalnya diperingati dengan hening sampai menangis
pertanda sedih yang sangat mendalam. Itu menurut mereka sebagai bukti bahwa
mereka mencintai Nabi saw dan keluarganya, dimana salah satu cucu Nabi saw,
Husain ra., dibunuh dengan keji pada tanggal 10 Muharram 61 H/680 M di padang
Karbala, Irak.
Syi’ah arti asalnya
‘kelompok’. Syi’ah menyatakan dirinya sebagai Syi’ah ‘Ali (kelompok pencinta
‘Ali) dan Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw). Di Indonesia, nama yang dijadikan
identitasnya bukan Syi’ah, tetapi Jama’ah/Madzhab Ahlul-Bait, seperti IJABI
(Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) yang dipimpin oleh Jalaluddin Rakhmat dan
berkantor pusat di Bandung, Kiara Condong.
Syi’ah
menyatakan bahwa ‘Ali adalah satu-satunya khalifah dan imam pengganti
Rasulullah saw. Hak khilafah
untuk ‘Ali ini berlaku juga untuk keturunan-keturunannya. Kalaupun di antara
mereka ada yang tidak menjadi khalifah maka itu disebabkan dizhalimi oleh pihak
lain atau sikap menyembunyikan keyakinan dari para keturunan ‘Ali tersebut (al-Milal wa an-Nihal, 1 : 146). Konsekuensinya,
khalifah Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman dinilai sebagai perampas hak khilafah
‘Ali ibn Abi Thalib. Tiga shahabat mulia tersebut dinilai sebagai orang-orang
sesat dan kafir. Semua shahabat yang berbai’at kepada tiga khalifah tersebut
juga termasuk sesat dan kafir. Semua kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan
Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman pun dinilai sesat dan kafir. Di sinilah aqidah
sesat Syi’ah bermula.
Dari aqidah
tersebut, konsekuensinya adalah al-Qur`an dan sunnah tidak dijadikan sumber
ajaran Islam. Sebab al-Qur`an yang ada hari ini diriwayatkan secara mutawatir
melalui shahabat. Para shahabat juga sumber hadits-hadits Nabi saw. Ketika
shahabat dinilai kafir, otomatis mereka menolak al-Qur`an dan Sunnah. Maka
dibuatlah al-Qur`an dan sunnah versi Syi’ah yang dibuat-buat alias palsu.
Dari sini maka perbedaan antara Islam dan Syi’ah pun bukan lagi dalam persoalan
ajaran cabang, tetapi sudah pada ajaran pokok, yakni dasar-dasar aqidah dan
ibadah.
Al-Kulaini,
seorang imam hadits versi Syi’ah, meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai
shahih di kalangan Syi’ah, sebagai berikut:
اِرْتَدَّ
النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ r إِلاَّ ثَلاَثَةً وَهُمُ الْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْ ذَرٍّ
Orang-orang murtad sesudah Nabi saw (wafat)
kecuali tiga orang yaitu Miqdad, Salman dan Abu Dzar (Al-Ushul
minal-Kafi no. 341).
Hadits
tersebut jelas merupakan hadits maudlu’ (palsu). Sebab shahabat faktanya
dijamin oleh Nabi saw akan selalu berada dalam kebenaran. Ketika Nabi saw
menyebutkan bahwa sepeninggalnya akan banyak aliran sesat, Nabi saw memberi
wasiat kepada kaum muslimin untuk konsisten mengikutinya dan para shahabatnya
agar tidak tersesat:
مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِي
“Ikuti apa yang aku dan para shahabatku ada padanya (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja’a fi iftiraqi hadzihi al-ummah no. 2565).
Al-Qur`an juga
sudah memberikan jaminan bahwa shahabat, meski bukan manusia suci yang bebas
dari dosa, tidak mungkin mereka melegalkan sebuah kemaksiatan dan kemunkaran (QS. at-Taubah [9] : 100, 117, Al-Hasyr [59]
: 8-9, Ali ‘Imran [3]
: 110). Jika benar khalifah yang seharusnya ‘Ali, tidak mungkin shahabat
semuanya membenarkan kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Tidak mungkin
juga ketiga shahabat tersebut melanggar wasiat Nabi saw untuk menjadikan ‘Ali
khalifah dan merampasnya, jika memang benar wasiat itu ada. Tidak mungkin juga
‘Ali dan Ahlul-Bait menyembunyikan keyakinannya dan berdiam diri ketika ia
tidak diangkat jadi khalifah sepeninggal Nabi saw wafat, jika memang benar
ajaran itu ada. Semua ini adalah kedustaan yang dibuat-buat dengan
mengatasnamakan ‘Ali ra dan Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw).
Nabi saw sudah
bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ
قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ
وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya:
Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka.
Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika tidak, maka
kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab
bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Dengan
sendirinya Syi’ah kafir karena mereka menilai umat Islam (yang biasa disebut
Sunni/Ahlus-Sunnah) sebagai kafir. Ketika faktanya umat Islam yang ada hari ini
dan yang mendasarkan ajarannya kepada al-Qur`an dan sunnah benar sebagai
muslim, maka otomatis vonis kafir dari Syi’ah tersebut kembali kepada Syi’ah.
Jadi Syi’ah kafir bukan karena kita menilainya kafir, tetapi karena aqidah
mereka sendiri yang mengkafirkan shahabat dan umat Islam. Jadinya, merekalah
yang kafir.
‘Asyura itu
sendiri menurut Syi’ah adalah salah satu bentuk kekejian umat Islam kepada cucu
Nabi saw, Husain ra., yang telah menyebabkannya dibantai di Karbala, Irak pada
10 Muharram 61 H/680 M. Pembantaian tersebut bagi Syi’ah merupakan simbol dari
ridlanya umat Islam yang terkesan membiarkan pembantaian tersebut, sehingga
mereka pun merayakannya dengan kesedihan. Padahal jika seperti itu kesimpulannya,
berarti mereka (Syi’ah) pun sudah terlibat dalam “pembiaran” tersebut. Sebab
fakta sejarah yang ditulis oleh para ulama yang otoritatif dan didasarkan pada
sumber-sumber yang terpercaya, seperti Tarikh at-Thabari dan al-Bidayah
wan-Nihayah Ibn Katsir, membuktikan hal itu. Pada tahun 61 H yang berkuasa
adalah Khalifah Yazid putra Mu’awiyah. Salah seorang panglimanya, al-Hajjaj,
dikenal dengan kekejamannya yang sering tanpa ragu membunuh siapapun yang
dianggap lawan politiknya. Husain ra, dalam hal ini termasuk salah satu lawan
politiknya. Husain ra yang tinggal di Madinah saat itu mendapatkan surat ajakan
dari orang Irak yang mengaku sebagai pendukung keluarga Nabi saw untuk datang
ke Irak dan dibai’at oleh mereka. Shahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas sudah
mengingatkan Husain agar jangan terbujuk ajakan orang Irak yang dikenal banyak
pembohongnya. Terlebih berontak kepada pemimpin (khuruj) jelas dilarang
oleh agama. Terlebih lagi al-Hajjaj sudah dikenal kekejamannya. Akan tetapi
Husain ra tetap pada pendiriannya, ia akan berangkat ke Irak dan bergabung
dengan kelompok yang dahulu menjadi loyalis ayahnya, ‘Ali ibn Abi Thalib. Lalu
terjadilah peristiwa yang tidak dikehendaki oleh siapapun. Husan ibn ‘Ali dan
bahkan keluarga yang dibawanya dibantai oleh sang panglima bengis, al-Hajjaj.
Umat Islam bukan berarti membiarkan, tetapi situasi saat itu menuntut umat
Islam untuk menahan diri, dan ini sudah sesuai dengan yang diajarkan Nabi saw
(rujuk hadits-hadits tentang fitnah di akhir zaman dalam AR-RISALAH jilid 2).
Umat Islam di
seluruh penjuru dunia sangat tahu bahwa Husain memang syahid dibantai oleh
pasukan yang tidak bermoral. Ia adalah salah satu syahid di antara
syahid-syahid lainnya seperti Umar ibn Khaththab, 'Utsman ibn 'Affan, 'Ali ibn
Abi Thalib, syuhada Badar, dan ribuan syuhada lainnya dari
kalangan shahabat dan generasi salaf. Tetapi itu tidak perlu dengan
mengunggulkan Husain dibanding lainnya, khususnya dari khalifah-khalifah dan
syuhada perang Badar yang sudah dijamin masuk surga oleh Nabi saw. Cukup
diingat dengan sewajarnya saja bahwa Husain dizhalimi oleh pasukan yang zhalim,
disebabkan tertipu oleh orang-orang yang mengklaim sebagai pencinta keluarga
Nabi saw. Mereka saat
itu memaksa Husain datang ke Irak untuk dibai'at jadi pemimpin dan
dibela, tetapi ternyata
dibiarkan begitu saja terbantai di Karbala. Allah swt pasti akan mengganjar
para syuhada dengan ganjaran setimpal, juga para penipu yang mengklaim pencinta
keluarga Nabi dengan ganjaran yang setimpal pula.
Wal-‘Llahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar