Minggu, 02 Februari 2014

Antara Syi'ah dan "Asyura


Antara Syi’ah dan ‘Asyura

‘Asyura adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Bagi sekte Syi’ah, hari ini adalah hari raya yang harus diperingati dengan kesedihan yang didramatisir; tubuh dilukai secara sengaja, sambil menangis meronta-ronta, berteriak histeris, secara berjama’ah, atau minimalnya diperingati dengan hening sampai menangis pertanda sedih yang sangat mendalam. Itu menurut mereka sebagai bukti bahwa mereka mencintai Nabi saw dan keluarganya, dimana salah satu cucu Nabi saw, Husain ra., dibunuh dengan keji pada tanggal 10 Muharram 61 H/680 M di padang Karbala, Irak.

Syi’ah arti asalnya ‘kelompok’. Syi’ah menyatakan dirinya sebagai Syi’ah ‘Ali (kelompok pencinta ‘Ali) dan Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw). Di Indonesia, nama yang dijadikan identitasnya bukan Syi’ah, tetapi Jama’ah/Madzhab Ahlul-Bait, seperti IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) yang dipimpin oleh Jalaluddin Rakhmat dan berkantor pusat di Bandung, Kiara Condong.
Syi’ah menyatakan bahwa ‘Ali adalah satu-satunya khalifah dan imam pengganti Rasulullah saw. Hak khilafah untuk ‘Ali ini berlaku juga untuk keturunan-keturunannya. Kalaupun di antara mereka ada yang tidak menjadi khalifah maka itu disebabkan dizhalimi oleh pihak lain atau sikap menyembunyikan keyakinan dari para keturunan ‘Ali tersebut (al-Milal wa an-Nihal, 1 : 146). Konsekuensinya, khalifah Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman dinilai sebagai perampas hak khilafah ‘Ali ibn Abi Thalib. Tiga shahabat mulia tersebut dinilai sebagai orang-orang sesat dan kafir. Semua shahabat yang berbai’at kepada tiga khalifah tersebut juga termasuk sesat dan kafir. Semua kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman pun dinilai sesat dan kafir. Di sinilah aqidah sesat Syi’ah bermula.
Dari aqidah tersebut, konsekuensinya adalah al-Qur`an dan sunnah tidak dijadikan sumber ajaran Islam. Sebab al-Qur`an yang ada hari ini diriwayatkan secara mutawatir melalui shahabat. Para shahabat juga sumber hadits-hadits Nabi saw. Ketika shahabat dinilai kafir, otomatis mereka menolak al-Qur`an dan Sunnah. Maka dibuatlah al-Qur`an dan sunnah versi Syi’ah yang dibuat-buat alias palsu. Dari sini maka perbedaan antara Islam dan Syi’ah pun bukan lagi dalam persoalan ajaran cabang, tetapi sudah pada ajaran pokok, yakni dasar-dasar aqidah dan ibadah.
Al-Kulaini, seorang imam hadits versi Syi’ah, meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai shahih di kalangan Syi’ah, sebagai berikut:
اِرْتَدَّ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ r إِلاَّ ثَلاَثَةً وَهُمُ الْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْ ذَرٍّ
Orang-orang murtad sesudah Nabi saw (wafat) kecuali tiga orang yaitu Miqdad, Salman dan Abu Dzar (Al-Ushul minal-Kafi no. 341).
Hadits tersebut jelas merupakan hadits maudlu’ (palsu). Sebab shahabat faktanya dijamin oleh Nabi saw akan selalu berada dalam kebenaran. Ketika Nabi saw menyebutkan bahwa sepeninggalnya akan banyak aliran sesat, Nabi saw memberi wasiat kepada kaum muslimin untuk konsisten mengikutinya dan para shahabatnya agar tidak tersesat:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Ikuti apa yang aku dan para shahabatku ada padanya (Sunan at-Tirmidzi bab ma jaa fi iftiraqi hadzihi al-ummah no. 2565).
Al-Qur`an juga sudah memberikan jaminan bahwa shahabat, meski bukan manusia suci yang bebas dari dosa, tidak mungkin mereka melegalkan sebuah kemaksiatan dan kemunkaran (QS. at-Taubah [9] : 100, 117, Al-Hasyr [59] : 8-9, Ali ‘Imran [3] : 110). Jika benar khalifah yang seharusnya ‘Ali, tidak mungkin shahabat semuanya membenarkan kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Tidak mungkin juga ketiga shahabat tersebut melanggar wasiat Nabi saw untuk menjadikan ‘Ali khalifah dan merampasnya, jika memang benar wasiat itu ada. Tidak mungkin juga ‘Ali dan Ahlul-Bait menyembunyikan keyakinannya dan berdiam diri ketika ia tidak diangkat jadi khalifah sepeninggal Nabi saw wafat, jika memang benar ajaran itu ada. Semua ini adalah kedustaan yang dibuat-buat dengan mengatasnamakan ‘Ali ra dan Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw).
Nabi saw sudah bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Dengan sendirinya Syi’ah kafir karena mereka menilai umat Islam (yang biasa disebut Sunni/Ahlus-Sunnah) sebagai kafir. Ketika faktanya umat Islam yang ada hari ini dan yang mendasarkan ajarannya kepada al-Qur`an dan sunnah benar sebagai muslim, maka otomatis vonis kafir dari Syi’ah tersebut kembali kepada Syi’ah. Jadi Syi’ah kafir bukan karena kita menilainya kafir, tetapi karena aqidah mereka sendiri yang mengkafirkan shahabat dan umat Islam. Jadinya, merekalah yang kafir.
‘Asyura itu sendiri menurut Syi’ah adalah salah satu bentuk kekejian umat Islam kepada cucu Nabi saw, Husain ra., yang telah menyebabkannya dibantai di Karbala, Irak pada 10 Muharram 61 H/680 M. Pembantaian tersebut bagi Syi’ah merupakan simbol dari ridlanya umat Islam yang terkesan membiarkan pembantaian tersebut, sehingga mereka pun merayakannya dengan kesedihan. Padahal jika seperti itu kesimpulannya, berarti mereka (Syi’ah) pun sudah terlibat dalam “pembiaran” tersebut. Sebab fakta sejarah yang ditulis oleh para ulama yang otoritatif dan didasarkan pada sumber-sumber yang terpercaya, seperti Tarikh at-Thabari dan al-Bidayah wan-Nihayah Ibn Katsir, membuktikan hal itu. Pada tahun 61 H yang berkuasa adalah Khalifah Yazid putra Mu’awiyah. Salah seorang panglimanya, al-Hajjaj, dikenal dengan kekejamannya yang sering tanpa ragu membunuh siapapun yang dianggap lawan politiknya. Husain ra, dalam hal ini termasuk salah satu lawan politiknya. Husain ra yang tinggal di Madinah saat itu mendapatkan surat ajakan dari orang Irak yang mengaku sebagai pendukung keluarga Nabi saw untuk datang ke Irak dan dibai’at oleh mereka. Shahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas sudah mengingatkan Husain agar jangan terbujuk ajakan orang Irak yang dikenal banyak pembohongnya. Terlebih berontak kepada pemimpin (khuruj) jelas dilarang oleh agama. Terlebih lagi al-Hajjaj sudah dikenal kekejamannya. Akan tetapi Husain ra tetap pada pendiriannya, ia akan berangkat ke Irak dan bergabung dengan kelompok yang dahulu menjadi loyalis ayahnya, ‘Ali ibn Abi Thalib. Lalu terjadilah peristiwa yang tidak dikehendaki oleh siapapun. Husan ibn ‘Ali dan bahkan keluarga yang dibawanya dibantai oleh sang panglima bengis, al-Hajjaj. Umat Islam bukan berarti membiarkan, tetapi situasi saat itu menuntut umat Islam untuk menahan diri, dan ini sudah sesuai dengan yang diajarkan Nabi saw (rujuk hadits-hadits tentang fitnah di akhir zaman dalam AR-RISALAH jilid 2).
Umat Islam di seluruh penjuru dunia sangat tahu bahwa Husain memang syahid dibantai oleh pasukan yang tidak bermoral. Ia adalah salah satu syahid di antara syahid-syahid lainnya seperti Umar ibn Khaththab, 'Utsman ibn 'Affan, 'Ali ibn Abi Thalib, syuhada Badar, dan ribuan syuhada lainnya dari kalangan shahabat dan generasi salaf. Tetapi itu tidak perlu dengan mengunggulkan Husain dibanding lainnya, khususnya dari khalifah-khalifah dan syuhada perang Badar yang sudah dijamin masuk surga oleh Nabi saw. Cukup diingat dengan sewajarnya saja bahwa Husain dizhalimi oleh pasukan yang zhalim, disebabkan tertipu oleh orang-orang yang mengklaim sebagai pencinta keluarga Nabi saw. Mereka saat itu memaksa Husain datang ke Irak untuk dibai'at jadi pemimpin dan dibela, tetapi ternyata dibiarkan begitu saja terbantai di Karbala. Allah swt pasti akan mengganjar para syuhada dengan ganjaran setimpal, juga para penipu yang mengklaim pencinta keluarga Nabi dengan ganjaran yang setimpal pula.
Wal-‘Llahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar