Minggu, 02 Februari 2014

Mencintai Nabi saw dengan Benar

Mencintai Nabi saw dengan Benar

Mencintai Nabi saw lebih dari mencintai diri sendiri dan keluarga merupakan aqidah yang sangat mendasar bagi seorang muslim. Akan tetapi tidak sedikit kaum muslimin yang tulus mencintai Nabi saw dengan cinta yang salah kaprah. Jadinya cinta pun bertepuk sebelah tangan.

Beberapa ulama salaf ada yang sudah mengingatkan persoalan cinta bertepuk sebelah tangan ini melalui pernyataan:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ
Yang pokok itu bukan klaim ‘mencintai’, tetapi yang pokok itu adalah fakta bahwa kita ‘dicintai’ (Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 31).
Pernyataan tersebut dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tasfirnya terkait firman Allah swt:

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Ali ‘Imran [3] : 31).
Ibn Jarir at-Thabari mengemukakan beberapa riwayat tentang sababun-nuzul (latar belakang historis turun) ayat ini, dimana ada beberapa orang yang datang kepada Nabi saw dan mereka menyatakan: “Sungguh kami benar-benar cinta kepada Allah.” Tidak lama dari itu maka turunlah ayat ini. Riwayat lainnya, beberapa orang Kristen Najran pernah menyatakan hal yang serupa di hadapan Nabi saw. Tetapi mereka juga bersikukuh dengan pengkultusannya kepada Nabi ‘Isa/Yesus dan pada agama Kristen mereka. Maka Nabi saw pun membacakan ayat ini. Sementara itu, Wahbah az-Zuhaili mengutip pernyataan Ibn ‘Abbas yang menjelaskan bahwa ayat ini duturunkan terkait pengakuan orang Yahudi dan Kristen sebagaimana dikemukakan Allah swt dalam QS. Al-Ma`idah [5] : 18: Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya.
Dari sejumlah riwayat ini maka Ibn Katsir memberikan catatan: “Ayat yang mulia ini memutuskan bahwa siapa saja yang mengaku cinta kepada Allah, tapi tidak menggunakan thariqah Muhammadiyyah (jalannya Nabi Muhammad saw), maka sesungguhnya ia batal dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at Muhammad dan agamanya dalam seluruh perkataan dan perbuatannya. Sebagaimana telah dikemukakan Rasulullah saw dalam salah satu riwayat yang shahih: ‘Siapa yang beramal satu amal yang tidak ada padanya perintah kami, maka amal itu pasti ditolak.”
Artinya, klaim cinta kepada Allah swt juga kepada Nabi saw, semuanya bisa dinyatakan tidak benar jika tidak sampai ittabi’uni; mengikuti ajaran yang ditetapkan Nabi saw. Terlebih jika klaim cinta tersebut malah disertai dengan pengamalan beberapa amalan yang sama sekali tidak pernah digariskan oleh Nabi saw, meskipun sang pengamal mengklaim bahwa amal-amalan tersebut baik atau sangat baik. Semuanya akan tertolak; fa huwa raddun.
Shahabat Anas ibn Malik meriwayatkan: Ada tiga orang shahabat Nabi saw datang bertamu ke rumah Nabi saw. Sebelum mereka diterima oleh Nabi saw, mereka bertanya kepada istri beliau tentang ibadah beliau saw. Istri Nabi saw pun memberitahukan bahwa Nabi saw rajin shaum di siang hari, tetapi tetap buka di malam hari. Nabi saw rajin shalat Tahajjud di setiap malam, tetapi tetap menyisakan sedikit waktunya untuk tidur malam. Nabi saw pun menjauhi zina dalam level kecil sekalipun, tetapi beliau tetap menikahi beberapa istri. Setelah diberitahu seperti itu, mereka menganggap bahwa amal-amal tersebut terlalu sedikit untuk ukuran mereka. Untuk level Nabi saw yang sudah dijamin diampuni dosanya, mungkin itu sudah cukup. Tetapi untuk level mereka yang belum pasti diampuni dosanya, amal tersebut terlalu sedikit dan harus ditambah lagi. Mereka pun bertekad untuk menambah amal-amalan yang melebihi amal yang dicontohkan Nabi saw. Tetapi rupanya Nabi saw yang mendengar obrolan mereka dari dalam malah memarahi mereka.
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Anas ibn Malik berkata: Ada tiga orang yang datang ke rumah istri Nabi saw untuk bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika mereka diberitahu mereka menganggapnya remeh, sambil berkata: "Kita tidak sama dengan Nabi saw. Beliau sudah diampuni dosanya baik yang lalu atau yang akan datang." Kata salah seorang dari mereka: "Aku akan shalat malam selamanya semalam suntuk." Kata yang satunya lagi: "Aku akan shaum selama mungkin dan tidak berbuka." Kata yang satunya lagi: "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya." Lalu Rasulullah saw datang dan bersabda: "Kalian yang tadi ngomong seperti ini! Demi Allah, aku ini orang yang paling takut dan taqwa kepada Allah, tapi aku shaum dan buka, aku shalat malam dan tidur, dan aku menikah. Siapa yang tidak senang pada sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku." (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab at-targhib fin-nikah no. 5063)
Artinya, siapa saja yang menilai amal yang dicontohkan Nabi saw terlalu sedikit dan tidak cukup, maka itu berarti sudah membenci sunnah Nabi saw. Itu juga berarti bahwa ia sudah bukan bagian dari umat Nabi saw. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.
Imam Muslim meriwayatkan, seorang shahabat bernama Rabi’ah ibn Ka’ab al-Aslami, saking cintanya kepada Nabi saw, bermalam di rumah Nabi saw dan menyediakan air untuk keperluan wudlu dan buang air Nabi saw. Suatu saat Nabi saw menyuruhnya untuk meminta. Tetapi ia hanya meminta untuk bisa menemani Nabi saw di surga.
قَالَ رَبِيعَةُ بْنُ كَعْبٍ الأَسْلَمِىُّ كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ r فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِى سَلْ. فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِى الْجَنَّةِ. قَالَ أَوَغَيْرَ ذَلِكَ. قُلْتُ هُوَ ذَاكَ. قَالَ فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
Rabi’ah ibn Ka’ab al-Aslami berkata: Aku bermalam bersama Rasulullah saw. Aku menyediakan air wudlu dan untu keperluan buang airnya. Nabi saw lalu bersabda kepadaku: “Mintalah kamu!”Aku jawab: “Aku minta agar aku bisa menemaniu di surga.” Sabda Nabi saw: “Ada yang lain?” Aku jawab: “Hanya itu.” Nabi saw bersabda: “Maka bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan memperbanyak sujud.” (Shahih Muslim bab fadllis-sujud wal-hatstsi ‘alaih no. 1122)
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa memperbanyak sujud di sana artinya “di dalam shalat”. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram memasukkan hadits tersebut dalam bab shalat sunat. Artinya jika benar mencintai Nabi saw dan ingin menemaninya di surga, perbanyaklah shalat sunat. Shalat sunat yang tentunya disunnahkan Nabi saw.
Artinya, cinta Nabi saw yang benar adalah dengan fokus kepada sunnah dan ibadah-ibadah sunat yang telah dicontohkannya, yang jumlahnya sangat banyak. Bukan pada menambah amal-amal lain melebihi sunnnahnya. Sebab sebagaimana dinyatakan dalam hadits lain:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِنْ السُّنَّة مِثْلُهَا ؛ فَتَمَسُّكٌ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ إِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
Tidaklah satu kaum membuat bid’ah melainkan akan dicabut sunnah yang semisalnya. Maka memegang teguh sunnah itu lebih baik daripada membuat bid’ah (Musnad Ahmad bab hadits Ghadlif ibn al-Harits no. 17011. Menurut Ibn Hajar dalam Fath al-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida` bi sunani Rasulillah saw, hadits ini sanadnya jayyid).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar